Minggu, 05 Februari 2012

BAGAWADGHITA BAB 1


Page 1 of 5
Bermulalah di sini Gita suci yang dituturkan dari Yang Maha Suci Kreshna. Berkatalah Dhristarashtra :
1.       Di dataran nan suci ini (dharmakshetra), tanah kebenaran, tanahnya para Kuru, berkumpullah putra-putraku beserta laskar-laskar mereka, dan juga putra-putra Sang Pandu (Ayahanda Pandawa) bersiap-siap untuk suatu yudha. Apa saja yang sedang mereka lakukan beritakanlah kepadaku, wahai Sanjaya
(Keterangan) Kurukshetra disebut juga dharmakshetra, terletak di Hastinapura di utara kota New Delhi yang modern dewasa ini. Tempat ini di masa yang silam dianggap suci karena sering dipergunakan oleh para resi, kshatrya untuk bertapa, bahkan kabarnya juga oleh para dewa-dewa. Salah satu kata pertama yang disebut di sloka pembukaan Bhagavat Gita di atas ini adalah kata dharma, inilah inti sebenarnya yang harus diresapkan oleh sidang pembaca. karena inilah salah satu pesan sesungguhnya Bhagavat Gita. "Bangunlah jiwa dan ragamu dengan dan untuk dharma." Kata dharma berasal dari kata "Dhru" yang berarti "pegang." Dharma adalah kekuatan yang memegang hidup ini, dharma tidak terdapat dalam ucapan-ucapan manis. tetapi adalah kesaktian di dalam jiwa kita yang merupakan inti dari kehidupan kita.
      Bermulalah di sini Gita suci yang dituturkan dari Yang Maha Suci Kreshna. Berkatalah Dhristarashtra :
1.       Di dataran nan suci ini (dharmakshetra), tanah kebenaran, tanahnya para Kuru, berkumpullah putra-putraku beserta laskar-laskar mereka, dan juga putra-putra Sang Pandu (Ayahanda Pandawa) bersiap-siap untuk suatu yudha. Apa saja yang sedang mereka lakukan beritakanlah kepadaku, wahai Sanjaya.
(Keterangan) Kurukshetra disebut juga dharmakshetra, terletak di Hastinapura di utara kota New Delhi yang modern dewasa ini. Tempat ini di masa yang silam dianggap suci karena sering dipergunakan oleh para resi, kshatrya untuk bertapa, bahkan kabarnya juga oleh para dewa-dewa. Salah satu kata pertama yang disebut di sloka pembukaan Bhagavat Gita di atas ini adalah kata dharma, inilah inti sebenarnya yang harus diresapkan oleh sidang pembaca. karena inilah salah satu pesan sesungguhnya Bhagavat Gita. "Bangunlah jiwa dan ragamu dengan dan untuk dharma." Kata dharma berasal dari kata "Dhru" yang berarti "pegang." Dharma adalah kekuatan yang memegang hidup ini, dharma tidak terdapat dalam ucapan-ucapan manis. tetapi adalah kesaktian di dalam jiwa kita yang merupakan inti dari kehidupan kita.

Dan Kshetra berarti padang, ladang atau medan. Seyogyanyalah kita bertanya pada pribadi kita masing-masing, "apa sajakah yang selama ini yang telah kutanam dan kupetik dalam hidupku ini, dharma ataukah adarma? Bagi yang menanam dharma maka hidupnya akan menghasilkan karunia Ilahi, dan yang telah melakukan adharma maka kita dapat bercermin kepada para Kaurawa. "Bersiap-siap untuk suatu yudha," Kaurawa menginginkan perang, sedangkan para Pandawa sebenarnya menginginkan perdamaian. Sang Kreshna yang Maha Bijaksana berusaha agar perdamaian terwujud, tetapi para Kaurawa selalu menolaknya. maka untuk mempertahankan diri dan menegakkan dharma/kebenaran terpaksalah para Pandawa berperang walaupun dengan laskar yang sedikit. Tetapi yang sedikit ini akhirnya akan menang karena mereka berjalan tegak di jalan kebenaran.

Dalam ucapan Dhritarashtra yang mengatakan di atas "tanahnya para Kuru" dan juga '"putra-putraku," tersirat adanya rasa egois atau ahankara (angkara) yang besar. inilah sebenarnya sumber dari segala tragedi dalam hidup ini.

 Berkatalah Sanjaya :
2 . Kemudian pangeran Duryodana, setelah melihat barisan laskar para Pandawa yang teratur rapi, menghampiri gurunya dan berkata.
      Yang dimaksud guru di sini adalah Dronacharya, guru sang Kaurawa dan Pandawa. Di Baratayudha ini Drona mendukung Kaurawa sampai akhir hayatnya.
3.  Lihatlah wahai guruku, barisan laskar para Pandawa yang telah siap untuk berperang, mereka semua dipimpin oleh murid Sang Guru yang bijaksana, yaitu putra Sang Drupada.
      Yang dimaksud "murid yang bijaksana" di sini adalah Dhristadyumna. la adalah putra Raja Drupada dari kerajaan Panchala. Dia diangkat para Pandawa menjadi panglima perang untuk pihak Pandawa; Dhristadyumna sebenarnya masih merupakan saudara ipar para Pandawa Dalam perang ini Resi Dorna akan membunuh Raja Drupada, kemudian Dhristadyumna akan membunuh Drona. Disusul putra Drona yang disebut Asvatama kemudian membunuh Dhristadyumna. Inilah lingkaran karma.
4.    Di sinilah para pahlawan-pahlawan besar berkumpul, dari Bima, Arjuna dan yang tak kalah kehebatannya yaitu Yuyudana, Virata dan Drupada.
5.   Juga Dhrishtaketu, Chekitana dan raja besar dari Kashi, Purujit, Kuntiboja dan Shaibya, semuanya pendekar-pendekar nan sakti wirawan.
6.   Juga yang gagah berani yaitu, Yudhamanyu dan Uttamauja, Saubadra dan putra-putra Draupadi.
Bima :  Putra kedua dari Pandu. yang kedua dari para Pandawa.
Arjuna : Yang ketiga dari Pandawa bersaudara, dan yang paling dikasihi Sang Kreshna.
Yuyudana : Disebut Juga Setyaki. pahlawan yang gagah perkasa.
Virata: Raja dari Matsya-desha. seorang raja nan arif bijaksana. Selama pengasingan para Pandawa di hutan (13 tahun lamanya), tahun terakhir pengasingan ini para Pandawa menyamar dan bersembunyi di istana Raja Virata. Alkisah putri sang raja kemudian dikawinkan dengan Abimanyu, putra Arjuna.
Dhristaketu: Putra Sishupala, raja dari Chedi-desha.
Chekitana: Salah satu pendekar yang gagah berani yang memimpin salah satu dari tujuh divisi laskar Pandawa.
Purujit dan Kuntibhoja: Saudara-saudara laki dari ibu Kunti, ibunya sang Pandawa,
Shaibya: Raja suku Sibi. Duryodana menyebutnya sebagai banteng diantara manusia, karena ia adalah seorang pendekar sakti yang bertenaga luar biasa.
Yudhamanyu dan Uttamauja: Pangeran-pangeran dari Panchala, juga merupakan pendekar-pendekar nan sakti-wirawan. Keduanya dibunuh Ashvathama sewaktu sedang tidur.
Saubhadra: Putra Arjuna dan Subadra (adik sang Kreshna). la dikenal juga dengan nama Abimanyu. Dalam perang ini ia memperlihatkan kepahlawanannya yang luar biasa.
Putra-putra Draupadi: Mereka berjumlah lima orang, yaitu Prativindhya, Srutasoma, Srutakirtti, Satanika dan Srutukarman.
       Pendekar-pendekar di atas semuanya kalau bekerja untuk perdamaian niscaya akan menghasilkan suatu suasana damai bagi semuanya, tetapi rupanya takdir menentukan yang lain, dan itulah misteri Ilahi yang tak akan mungkin terjangkau oleh kita manusia ini.

Page 2 of 5
7.   Ketahuilah juga, oh Engkau yang teragung di antara yang dilahirkan dua kali, pemimpin-pemimpin dan pendekar-pendekar di pihak kami, akan kusebutkan mereka demi Engkau yang kuhormati,
       "Yang teragung diantara yang dilahirkan dua kali" adalah ungkapan yang ditujukan kepada Resi Drona, karena sang resi ini adalah seorang brahmana dan biasanya kaum brahmana dianggap lahir dua kali. Maksudnya: pertama seorang brahmana harus lahir di dunia fana ini, tetapi di dunia ini ia harus menjalani kehidupan kebatinan demi Sang Maha Esa, jadi "lahir" lagi dengan meninggalkan semua nafsu keduniawian demi pengabdiannya ke masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa. Inilah tugas seorang Brahmana seharusnya.

8.   Pertama-tama Dikau yang mulia Drona, kemudian Bhisma, Karna dan Kripa yang tak terkalahkan dalam setiap yudha, juga Ashvatama, Vihana dan putra Somadatta.

9.   Dan banyak lagi pahlawan-pahlawan lainnya yang bersedia mengorbankan jiwa-raga mereka, bersenjatakan berbagai senjata-senjata yang sakti, kesemuanya ahli-ahli perang yang tiada taranya.
• Bhisma: Pendekar tua yang ditunjuk menjadi panglima tertinggi di pihak Kaurawa, yang sebenarnya masih "kakek" para Kaurawa dan Pandawa, Bhismalah sebenarnya yang membesarkan raja Dhristarashtra dan para Kaurawa-Pandawa. Beliau amat mencintai para Pandawa, tetapi dalam perang ini beliau berpihak kepada para Kaurawa karena berhutang budi dan setia kepada Kaurawa sesuai dengan janjinya. Tetapi Bhisma pernah bersumpah dihadapan Duryodana tak akan pernah membunuh para Pandawa; dalam perang Baratayudha ini Bhisma membuktikan kehebatannya sampai akhir hayatnya.
• Karna: Saudara tiri para Pandawa, adalah teman akrab Duryodana. Oleh Duryodana, Karna diangkat menjadi raja Anga (sekarang disebut daerah Bengal di India). Sebenarnya Karna adalah seorang kshatrya maha-sakti yang penuh dengan kasih-sayang kepada sesamanya, tetapi terikat sumpah setianya kepada Duryodana maka ia memilih pihak Kaurawa, Setelah matinya Drona, Karna diangkat menjadi panglima tertinggi Kaurawa tetapi hanya berlangsung dua hari saja, karena kemudian ia mati di tangan Arjuna, saudara tirinya sendiri. Beginilah kehendak Dewata.
• Kripa: Saudara ipar resi Drona. Ia adalah diantara tiga pendekar dari pihak Kaurawa yang tidak gugur dalam perang Baratayudha.
• Ahsvatama: Putra resi Drona, juga salah seorang panglima perangnya Kaurawa yang terkenal liciknya.
• Vikarna: Putra ketiga raja Dhristarashtra, adik Duryodana.
 Putra Somadatta: Somadatta adalah raja dari negara Bahikas yang membantu Kaurawa.

10.  Tak terhitung jumlah laskar kita yang dipimpin oleh Sang Bhisma, sedangkan dipihak mereka (Pandawa) yang dipimpin oleh Bima, jumlah laskar mereka sangat mudah untuk dihitung.

Sebenarnya jumlah tentara Kaurawa memang lebih banyak dari pihak Pandawa, kabarnya Kaurawa mempunyai laskar lebih banyak empat divisi dibandingkan pihak Pandawa. Ada juga yang menyebutnya berlipat ganda.

11. Dan telah diatur sedemikian rupa sehingga setiap pendekar dan pimpinan divisi berada pada posisi masing-masing dan menjaga Bhisma dengan baik.

Oleh sementara ahli, ucapan-ucapan Duryodana di atas dianggap juga sebagai ungkapan rasa khawatir Duryodana yang merasa di pihak Pandawa terdapat lebih banyak pahlawan-pahlawan sakti, walaupun jumlah laskar mereka lebih sedikit.

12. Untuk memberi semangat kepada Duryodana, Sang Bhisma yang bijaksana meniup sangkalalanya yang mengeluarkan suara seakan-akan auman dahsyat seekor singa.

13. Kemudian dari segala penjuru tambur-tambur dan sangkalala dibunyikan oleh semua pihak, dan hiruk-pikuklah suasana waktu itu dipenuhi suara-suara ini.

14. Kemudian, duduk di kereta perang nan agung, dengan pasangan-pasangan kuda-kuda putih, Sang Kreshna dan Arjuna masing-masing meniup sangkalala mereka.

15. Sang Kreshna meniup sangkalalanya yang bernama Panchjanya, dan Arjuna meniup sangkalalanya yang bernama Devadatta, sedangkan Bhima yang perkasa meniup sangkalalanya yang nampak besar, kekar dan kuat, bernama Paundra,

Page 3 of 5
16. Raja Yudhistira, putra ibu Kunti, meniup Anantawijaya, Nakula dan Sahadewa masing-masing meniup Sugosha dan Manipuspaka.
•   Raja Yudhistira: Yang tertua di antara Pandawa adalah seorang maha-raja yang berwatak tenang, penuh kasih-sayang dan amat bijaksana dalam segala tindak-tanduknya, tak pernah bohong dalam segala hal. Beliau dikenal lebih sebagai seorang negarawan daripada seorang pendekar yang gemar berperang. Sangkalala yang dimilikinya disebut Anantavijaya yang berarti "kemenangan tanpa akhir" atau juga disebut "suara-kemenangan."
•  Nakula: Putra keempat Pandawa dikenal amat mahir berkuda, sangkalalanya bernama Sagosha yang berarti "bersuara indah."
•   Sahadewa (Sadewa): Putra Pandu yang paling bungsu memiliki sangkalala yang bernama Manipuspaka yang berarti "mutiara yang mekar" atau "bunga-bunga mutiara," karena sangkalala yang satu ini teramat indahnya, selain bentuknya laksana mutiara ditaburi pula dengan mutiara-mutiara asli yang indah
17. Juga yang ikut meniup sangkalalanya masing-masing adalah raja dari Kashi yang memimpin laskar pemanah, kemudian Sikhandi (Srikandi) yang gagah perkasa, Dhristadyumna, Virata dan Satyaki (Setiaki) yang tak terkalahkan.

18. Juga Drupada dan putra-putra Draupadi, dan juga Saubhadra, semuanya meniup sangkalala mereka dari setiap jurusan.
    Shikandi (Srikandi) di India sering disebut juga sebagai putra raja (sebenarnya ia seorang banci) Drupada, di Indonesia ia dikenal sebagai pahlawan wanita, merupakan titisan dewi Amba yang menuntut balas kepada Bhisma. Panahnya akan menghabisi nyawa Bhisma dalam perang ini. Satyaki adalah sais kereta perang pribadi Sang Kreshna.
19. Suara-suara dahsyat sangkalala-sangkalala ini memenuhi langit dan bumi tanpa henti-hentinya dan menjatuhkan semangat putra-putra Kaurawa.
20. Kemudian Arjuna yang di kereta perangnya terdapat panji bergambarkan Hanoman, memandang ke arah putra-putra Dhristarashtra yang telah siap untuk berperang; dan tak lama kemudian ketika perang akan segera dimulai, Arjuna memungut busur panahnya.
21. Dan berkata kepada Sang Kreshna:
Berkatalah Arjuna :
22. Ingin kulihat semua yang ada di medan ini, mereka yang telah bersiap-siap untuk berperang, dengan siapa aku nanti harus berlaga.
23. Ingin kulihat mereka-mereka yang berkumpul di sini, yang berhasrat untuk mendapatkan sesuatu yang berharga bagi putra-putra Dhristarashtra yang berhati iblis itu.

Berkatalah Sanjaya :
24. Setelah Arjuna selesai dengan kata-katanya, Sang Kreshna pun mengarahkan kereta perangnya, kereta yang terbaik diantara semua kereta-kereta perang, ke tengah-tengah, diantara kedua laskar yang berbaris rapi.

Page 4 of 5
25. Di hadapan Bhisma, Drona dan pendekar-pendekar lainnya.
      Berkatalah Kreshna :
      Lihatlah, oh Arjuna, para Kuru yang sedang berkumpul (di sini).

26. Dan Arjuna pun melihat paman-pamannnya, para sesepuh (kakek-kakek), guru-guru, saudara-saudara dari ibunya, putra-putra dan para cucu, misan dan sahabat-sahabatnya, berdiri berbaris rapi.
27. Juga terlihat ayah-mertuanya dan para teman yang terdapat di kedua belah pihak. Melihat jajaran sanak-saudaranya yang berbaris rapi ini, Arjuna.

28. Tergetar penuh dengan rasa iba dan berkata pilu.
      Berkatalah Arjuna :
      Melihat jajaran keluargaku ini, oh Kreshna, bersiap-siap untuk berperang.
 29. Sendi-sendi badanku terasa lemas dan bibirku terasa rapat, seluruh tubuhku tergetar dan rambutku tegak berdiri.
30. Busur Gandivaku terlepas dari tanganku dan seluruh kulitku terasa terbakar; tak kuat aku berdiri tegak lagi; kepalaku serasa berputar-putar.
 31. Dan kulihat pertanda iblis, oh Kreshna! Tak kulihat sesuatu apapun yang baik dengan membunuh sanak-saudaraku dalam perang ini.
32. Tak kuinginkan kemenangan, oh Kreshna, tidak juga aku menginginkan kerajaan atau pun kesenangan-kesenangan. Apakah arti sebuah kerajaan untuk kami, oh Kreshna, atau pun apakah arti dari kesenangan bahkan hidup ini ?
 33. Mereka-mereka ini sekarang berjajar rapi untuk mengorbankan hidup dan harta-benda mereka, sedangkan kami menginginkan kerajaan, kemewahan dan kesenangan, bukankah sebenarnya semua itu diperjuangkan untuk mereka juga.
34. Yang terdiri dari para guru, ayah, putra-putra dan para kakek, paman, mertua, cucu, saudara-saudara ipar dan sanak-saudara lainnya.
 35. Aku tak akan membunuh siapapun juga, walaupun aku sendiri boleh mati terbunuh, oh Kreshna, takkan kuberperang walaupun aku sanggup mendapatkan ketiga dunia ini; apalagi hanya untuk satu yang bersifat duniawi ini ?
36. Setelah membantai putra-putra Dhristarastra, kenikmatan apakah yang dapat kita miliki, wahai Kreshna? Setelah membunuh penjahat-penjahat ini, kita sendiri akan tercemar oleh dosa-dosa ini.

Page 5 of 5
37. Tak benar bagi kita untuk membunuh sanak-saudara sendiri, yaitu putra-putra Dhristarashtra. Sebenarnya, wahai Kreshna, mana mungkin kita 'kan bahagia dengan membunuh keluarga kita sendiri?
       Arjuna adalah seorang pahlawan besar, tetapi menghadapi situasi yang unik ini, ia terhempas ke dalam suatu keragu-raguan yang dalam. Arjuna ke Kurukshetra untuk berperang tetapi tiba-tiba ia tak sampai hati untuk membunuh sanak saudaranya sendiri, walaupun ia tahu mereka-mereka ini berhati iblis. Tiba-tiba ia ragu untuk maju, gundahlah Arjuna dalam "ke akuan" nya. Bukanlah kita manusia ini sering juga mengalami tekanan-batin yang berat dalam mengambil suatu keputusan yang maha-penting ? Bukankah rasa iba sering kali membuka pintu kelemahan kita dan mengantarkan kita ke arah kehancuran itu sendiri'1 Itu semua karena kita terikat akan sanak-keluarga, harta-benda, nama posisi kita dalam masyarakat. Menjadi budak dari adat-istiadat demi kepentingan egois orang lainnya.
       Arjuna terjebak oleh rasa ibanya, oleh adat-istiadat dan simbol-simbol duniawi. Ia lupa tugas manusia sesungguhnya adalah demi dan untuk Yang Maha Esa, dan jalan ke Dia berarti meninggalkan semua milik duniawinya baik yang berbentuk konkrit (nyata) maupun yang berbentuk abstrak. Dalam agama Kristen kita menjumpai suatu persamaan dalam hal ini, Nabi Isa (Yesus) pernah bersabda: "Seandainya seseorang datang kepadaKu tetapi belum bersedia meninggalkan ayah-bundanya, anak-istrinya, dan saudara-saudaranya, maka ia tidak akan menjadi muridKu." Begitu pun dalam agama Hindu sering kita jumpai tokoh-tokoh spiritual di masa-masa yang silam yang harus meninggalkan "semua miliknya," kalau sudah memilih jalanNya.
      
       Ini bukan berarti Sang Kreshna mengecam "rasa-iba" atau perasaan "simpati" atas penderitaan seseorang: rasa-iba sebenarnya adalah sifat seorang yang satvik, tetapi rasa-iba yang sejati menurut versi Bhagavat Gita adalah yang tanpa moha, yaitu keterikatan secara duniawi. Rasa iba yang sejati adalah ekspresi dari cinta atau kasih sayang dari seseorang yang penuh dengan rasa "welas-asih," dan tidak seseorang pun akan dapat mencintai sesuatu/seseorang dengan sejati tanpa memasuki "sinar pengetahuan Ilahi," dan bersedia berjalan lurus (tanpa keterikatan duniawi apapun juga) di jalannya sang dharma.
       Di atas, untuk sejenak Arjuna rupanya lupa akan dharmanya. Arjuna lupa dan belum sadar bahwa sanak-saudaranya yang sebenarnya bukanlah yang lahir secara fisik sebagai adik, kakak, ayah, ibu, paman, kakek, dsb, tetapi sanak-saudara yang sejati adalah mereka yang mencintai Yang Maha Esa dan jalan di jalan lurus Sang Dharma. Merekalah sanak-saudara kita yang sejati, tulus dan seiman dalam naungan Yang Maha Esa.
       Arjuna masih hilang dalam kealpaannya. la lupa bahwa dharma mengharuskan seseorang untuk melaksanakan semua kehendak Yang Maha Esa tanpa pamrih, sama sekali tanpa imbalan sesuatu apapun juga baik itu pahala atau pintu surga, tanpa apapun juga, titik. Hanya bekerja untuk dan demi Dia! Rasa iba yang sejati harus didasarkan atas dharma. Sang Rama sendiri untuk menegakkan dharma berperang melawan Rahwana, dan di Bhagavat Gita Sang Kreshna menganjurkan jalan yang sama kepada Arjuna, agar Arjuna lepas dari choka (kesedihan) dan moha (keterikatan atau cinta duniawi).
       Di dalam Bhagavat Gita ajaran penting yang tersirat adalah "bunuhlah atau kekanglah pintu-pintu nafsumu." Agama-agama yang lain pun selalu mengajarkan hal yang sama: Zoroaster misalnya mengatakan "berperanglah terhadap iblis tanpa henti-hentinya," Sang Buddha berperang dengan Sang Mara, Yesus berperang dengan Syaitan, dan masih banyak contoh dari agama-agama yang lain. Arjuna di atas masih lupa bahwa ia harus berperang melawan Duryodana demi tegaknya dharma.

38. Dengan hati yang dikuasai oleh keserakahan, maka tidak terlihatlah kesalahan ini yang akan mengakibatkan hancurnya keluarga kita dan penghianatan atas teman-teman dan para sahabat.

39. Mengapa kita tidak memiliki kebijaksanaan untuk menjauhi dosa semacam ini, wahai Kreshna - bukankah kita melihat kesalahan ini akan mengakibatkan kehancuran keluarga kita?
      Arjuna masih menilai bahwa sesuatu kewajiban harus dilaksanakan dengan memikirkan imbalan yang duniawi sifatnya. Sedangkan dharma yang sejati tidak menuntut apa-apa. Dharma harus ditegakkan demi Yang Maha Kuasa, dan apapun yang diberikanNya sesudah itu, baik yang menyenangkan untuk kita atau yang membuat kita menderita karenanya, haruslah diterima sebagai pemberianNya. Dan itu harus ihlas, tanpa pamrih. Semua dharma kita adalah kewajiban dan persembahan kita kepadaNya, bahkan harus penuh dengan tanggung-jawab yang tulus kepadaNya bukan kepada kehendak unsur-unsur duniawi yang banyak terdapat disekitar kita, yang kalau dihitung seakan-akan tiada habisnya.

40. Dengan hancurnya sebuah keluarga, hancurlah juga semua tradisi-tradisi lama kita (kuladharma), dan dengan hancurnya tradisi-tradisi, larangan dan segala peraturan-peraturan nenek-moyang kita, maka kekacauan akan menguasai keluarga kita semuanya.
41. Dan kalau kekacauan ini (adharma) berkelanjutan, maka wahai Kreshna, wanita-wanita dalam keluarga ini akan berjalan serong. Dan kalau para wanita kita telah berlaku serong, oh Kreshna akan terjadi percampuran dalam sistim kasta.

      Arjuna amat khawatir bahwa kehancuran dalam keluarga besar mereka akan menghancurkan juga nilai-nilai lama tradisi mereka, dan lebih dari itu, juga akan menghancurkan sistim kasta yang mereka pegang teguh.
       Di dalam Bhagavat Gita, kita akan menemukan bahwa sistim kasta yang dianut secara diskriminasi adalah salah, suatu yang tidak senafas dengan inti ajaran Bhagavat Gita. Peranan wanita dalam agama Hindu sebenarnya sangat vital dan suci, nasib sesuatu bangsa maupun keluarga sering sekali ditentukan oleh peranan seorang wanita yang dalam hal ini bisa berupa seorang ibu, istri, dan sebagainya. Tidaklah mengherankan kalau Arjuna sangat gundah akan hancurnya moral para wanita dalam keluarga besar mereka. Semenjak masa silam, para wanita dalam agama Hindu selalu mendapatkan posisi yang agung dan suci, penuh tugas untuk dharma. Derajat mereka sebenarnya lebih suci dari para pria dan nilai mereka lebih tinggi. Ini dapat dibuktikan dari kedudukan para dewa-dewi dalam legenda-legenda Hindu, juga suatu upacara suci tidak akan sah kalau tidak dihadiri seorang wanita, juga peranan gadis-gadis yang masih suci amatlah vital dalam upacara untuk para leluhur dan tentunya masih sekian banyak contoh-contoh lainnya yang dapat kita baca sendiri di epik Mahabarata dan Ramayana di mana peranan wanita amat menonjol penuh kebajikan.

42. Dan kekacauan ini akan menjerumuskan, baik keluarga kita maupun yang menghancurkan nilai-nilai tradisi, ke neraka. Dan arwah para leluhur pun akan terabaikan karena tak akan mendapatkan air dan sesajen (yang berbentuk bulatan terbuat dari beras).

       Arjuna amat khawatir kalau peperangan ini akhirnya malah merusak nilai-nilai tradisi lama dan agama mereka, sehingga arwah para leluhur pun ikut makan getahnya  dengan tidak mendapatkan sesajen lagi. Biasanya para wanitalah yang mengatur sesajen ini pada upacara-upacara keagamaan tertentu. Kalau wanita-wanita dalam keluarga mereka sudah tidak setia lagi kepada leluhur mereka tentu akan timbul kekacauan dalam tradisi ini, pikir Arjuna. Upacara sesajen untuk para leluhur disebut shraddha.

43. Karena ulah yang menghancurkan keluarga kita ini, terciptalah kekacauan dalam sistim varna (kasta) yang ada dalam tradisi kaum kita dan hancurlah keluarga ini.

 
44. Dan kami dengar, wahai Kreshna, bahwa barang siapa kehilangan nilai-nilai tradisi keluarga, mereka akan tinggal di neraka.

45. Aduh, Betapa besarnya dosa yang harus kita pikul dengan membunuh sanak-keluarga hanya demi kemewahan sebuah kerajaan.

46. Lebih baik aku dibantai putra-putra Dhristarastra dengan senjata mereka, dan tak akan kulawan mereka.

Berkatalah Sanjaya :

47. Setelah mengatakan hal-hal tersebut (di medan perang), Arjuna terjatuh ke sandaran kursi (kereta perangnya), dan menghempaskan panah serta busurnya; seluruh jiwanya tercekam dengan rasa gundah-gulana.

       Arjuna sebenamya adalah seorang kshatrya yang bersih, tetapi pada saat ini hatinya diselimuti awan tebal. la sebenarnya, seakan-akan berbicara tentang vairagya (penyerahan diri secara total), tetapi hal ini dilakukannya karena keterikatannya kepada sanak-keluarga dan harta duniawi, bukan vairagya kepada Yang Maha Esa.
      Banyak yang bertanya apa perbedaan antara cinta (moha) dan cinta-sejati? Yang pertama adalah kulit luarnya yang selalu terikat pada sesuatu benda atau seseorang secara duniawi, sedangkan cinta-sejati adalah suatu ekspresi dari suatu kesadaran yang dianugerahkan oleh Yang Maha Esa kepada kita semuanya yang sebenarnya penuh dengan rasio, pertimbangan, dan perhitungan yang penuh tanggung jawab baik kepada masyarakat maupun Yang Maha Pencipta.
      Cinta sejati tidak terikat pada batas-batas pribadi seseorang. Arjuna tidak dapat berperang karena ia masih terikat dalam batas-batas "miliknya," ia masih mencintai semua sanak-keluarganya dalam batas duniawi. Arjuna lupa akan akhir hidup kita semuanya, tidak ada sesuatu apapun yang akan kita bawa kembali ke alam sana, karenanya Arjuna masih harus belajar tentang nishkama-karma (sesuatu tindakan atau pekerjaan tanpa mengharapkan pamrih).

       Sang Kreshna maklum Arjuna sedang mengalami depresi mental yang sangat berat, Beliaupun memulai ajaran-ajaranNya demi membangun lagi jiwa-raga Arjuna agar terjun lagi penuh semangat dan vitalitas untuk menghadapi hidup ini yang penuh dengan segala cobaan tetapi juga tugas-tugas dari Yang Maha Pencipta untuk kita semua.

       Inti ajaran Bhagavat Gita adalah, pembinaan mental diri kita sendiri secara batin. Gita mengingatkan dan sekaligus mengajarkan bahwa kelemahan adalah dosa; sesuatu kekuatan diri haruslah dibina dengan disiplin yang kuat dan tanpa pamrih. Kekuatan ini harus bersih dari segala unsur-unsur duniawi dan penuh dengan gairah hidup demi dharma kita kepadaNya. Pesan Sang Kreshna dalam Bhagavat Gita adalah "berdirilah dan berperanglah melawan kebatilan." Hidup adalah perjuangan demi nilai-nilai kebenaran; hidup juga adalah sebuah kuil atau pura dari pemujaan kita kepadaNya tanpa pamrih. Maju terus pantang mundur demi dharma-bhaktimu kepadaNya, bukan kepada hasrat-hasrat pribadimu dalam bentuk apapun juga.

      Dalam Upanishad Bhagavat Gita, bab yang pertama ini disebut sebagai Ilmu-Pengetahuan tentang Ilahi, sebuah Karya Sastra yang berbentuk dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna yang disebut juga Arjuna Vishada Yoga atau Yoga Sang Arjuna dalam Kedukaannya.

       Bab pertama disebut "Vishada Yoga." Vishada berarti depresi (karena duka), yoga di sini berarti bagian atau bab. Vishada yoga adalah permulaan dari Bhagavat Gita. Sebenarnya kalau ditelaah secara mendalam, maka rasa depresi atau Vishada ini adalah anak tangga pertama menuju ke kehidupan spirituil atau kebatinan. Setiap manusia harus mengalaminya setelah tersandung dalam berbagai aspek kehidupannya yang gagal, dan masuklah ia kemudian ke dalam suatu kegelapan seakan akan tanpa jalan keluar, kemudian barulah ia meniti secara perlahan dari gelap menuju ke terang. Dalam setiap depresi ini kalau sudah tidak terlihat jalan keluar maka kita akan berteriak dalam kedukaan yang amat dalam: "Apakah arti kehidupan ini? Apakah arti semuanya ini? Mengapa kita harus dilahirkan? Kemana kita akan pergi sesudah mati nanti? Dan sering sekali kita mengucapkan, "Oh Tuhanku mengapa Kau lupakan daku?" Mengapa Kau tinggalkan daku sendiri dalam duka ini?" dan "Oh Tuhan Dikau tak adil pada ku?" dan lain sebagainya, sebagai tanda-tanda frustrasi dalam diri kita,

      Setiap manusia kemudian harus masuk ke dalam suatu keheningan sebelum ia kemudian melangkah masuk dalam suatu bentuk ilmu pengetahuan tentang dirinya sendiri. Dalam keheningan ini setelah membunuh atau menguasai semua bentuk rasa egonya baik yang berbentuk positif (baik) maupun negatif (buruk), ia akan menemukan bahwa ia tidak berdiri sendiri dan semua ini ada yang mengatur. la akan menemukanNya, yang selalu mengayominya, menuntunnya dan kasih-sayang kepadanya. la (Yang Maha Esa) selalu hadir dalam setiap agama dengan bentuk dan versi yang berlainan sesuai dengan kepercayaan masing-masing individu; dalam Hindhu Dharma Ialah Sang Kreshna (Ilahi dalam bentuk manusia), Sang Penuntun jalan kehidupan kita. Camkanlah bahwa untuk mendapatkan penerangan, seseorang melalui jalan takdir biasanya harus mengalami kegelapan dulu. Begitu juga Arjuna dan begitu juga kita manusia, sampai suatu saat nanti, kita pun, seperti Sang Arjuna akan mengucapkan:

       Engkaulah yang Terutama, Engkaulah Tujuan yang Tertinggi, Dari ujung ke ujung Kau penuhi alam semesta ini, Oh Dikau Bentuk yang Tanpa Batas (Anantarupam). [XI, 38]






BAGAWADGHITA BAB 2-3


Bab 02 - Dimulailah Ajaran Bhagavat Gita
Page 1 of 2
Berkatalah Sanjaya :
1.   Sang Kreshna pun penuh dengan perasaan iba bersabda kepada Arjuna yang sedang dalam keadaan gundah, dan kedua matanya penuh dengan linangan air mata dan merasa dirinya tanpa semangat dan harapan lagi.
Berkatalah Sang Kreshna Yang Maha Pengasih :
2.   Dari manakah timbulnya depresi batinmu ini, pada saat-saat yang penuh dengan krisis seperti ini? Menolak berperang adalah tidak pantas untuk seorang Aryan. Penolakan ini akan menutup pintu masuk ke sorga. Penolakan ini adalah puncak dari kehinaan, oh Arjuna!
3.   Janganlah bertindak sebagai seorang pengecut, oh Arjuna! Tiada laba yang akan kau petik dari kelakuanmu ini. Buanglah jauh-jauh kelemahan hatimu. Bangkitlah, wahai Arjuna!
Berkatalah Arjuna :
4.   Bagaimana mungkin, wahai Kreshna, daku menyerang Bhisma dan Drona dengan panah-panahku dalam perang ini? Bukankah mereka sebenarnya layak untuk dijunjung tinggi, oh Kreshna?
5.   Lebih baik hidup sebagai pengemis di dunia ini, daripada membantai para guru yang agung ini. Dengan membunuh mereka, yang kudapatkan hanyalah kepuasan yang bergelimang darah!
6.   Juga kami tak tahu manakah yang lebih baik - kami mengalahkan mereka atau mereka mengalahkan kami. Dengan membunuh putra-putra Dhristarashtra, yang berdiri sebagai lawan, berarti juga menghilangkan sendi-sendi kehidupan (keluarga besar mereka).
7.    Seluruh svabhavaku (jiwa-ragaku), serasa sedang dirundung rasa lemas dan rasa iba, dan hatiku bimbang untuk melaksanakan kewajibanku ini. Maka kumohon kepadaMu. Ajarilah daku, sesuatu yang pasti, yang manakah yang lebih baik. Daku adalah muridMu.* Daku berlindung di dalam diriMu. Ajarilah daku.**

Arjuna terombang-ambing di antara kesedihannya dan rasa tanggung jawabnya dalam menunaikan kewajibannya sebagai seorang kshatrya. Dan puncak dari keragu-raguannya ini adalah berpasrah diri kepada Sang Kreshna agar ditunjukkan jalan yang benar dan pasti.

* Aku adalah muridmu dan aku sedang mencari penerangan': inilah kira-kira yang dimaksud oleh Arjuna. Dalam hidup ini ada tiga tahap untuk seorang jignasu (seseorang yang mencari): pertama-tama ia akan masuk dalam tahap "mencari," kedua ia akan menjadi seorang murid, seorang yang ingin sekali belajar sesuatu dan pada tahap ketiga ia menjadi seorang "anak" dari sang Guru untuk kemudian dituntun. Selanjutnya sang jignasu akan masuk kedalam suatu tahap yang "tenang" dan tidak lagi dalam keadaan "depresi."

**  'Ajarilah daku' dalam bahasa Sansekertanya adalah "shadhi mam" yang juga dapat berarti pengaruhilah daku. Seorang Guru kebatinan tidak saja mengajari muridnya dengan ajaran secara verbal maupun tertulis tetapi juga akan menimbulkan suatu "shakti atau "energi" di dalam diri seorang murid. Dalam pengembaraan kita dari setitik atom sampai ke Atman (Inti-Jiwa kita), kita semua memerlukan sebuah jembatan, dan jembatan ini adalah seorang Guru yang sejati. Carilah dia dan berlindunglah di dalamnya, niscaya kau akan berhasil melalui jembatan ini ke tujuanmu. Tetapi ingat seorang guru bukan untuk berbantah-bantah, seorang guru adalah penuntunmu, dan engkau harus tulus jiwa- dan ragamu dalam pengabdianmu kepadanya, dan barulah jalan akan terbuka, bukan dengan berdebat kepadanya.

8.   Rasa bimbang ini merubah seluruh indraku menjadi layu. Aku tak melihat masa depan, walau seandainya aku berkuasa tanpa batas atas seluruh permukaan bumi ini atau pun atas para Dewa-Dewa.

Berkatalah Sanjaya :
9.    Setelah ucapan-ucapan Arjuna ini selesai, Arjuna berkata kepada Sang Kreshna: "Aku tak akan berperang." Dan dengan kata-kata ini Arjuna pun langsung berdiam diri.

Arjuna bersikap diam diri. Diam atau pun hening sebenarnya adalah salah satu "guru" kita.
10.  Kemudian Sang Kreshna penuh dengan senyuman bersabda kepada Arjuna yang masih diliputi kedukaannya (masih terduduk) di kereta yang berada di antara kedua laskar ini.

Kreshna tersenyum karena ia mengetahui bahwa kesedihan Arjuna sebenarnya adalah proses cinta-duniawi yang terpengaruh oleh ilusi Sang Maya. Arjuna sedih karena belum memiliki ilmu pengetahuan yang sejati. Arjuna harus melewati dulu semua rasa egonya baik yang buruk maupun yang baik, untuk mencapai suatu "pengertian" tentang hidup ini.

Sang Kreshna tersenyum karena Ia sadar bahwa Arjuna harus melalui proses "habis gelap terbitlah terang."    Arjuna harus disadarkan dan diluruskan jalan pikirannya bahwa tradisi lama memang tidak boleh dibunuh tetapi sebaliknya harus dimanfaatkan sebagai alat bagi langgengnya kebenaran untuk segalanya. Keadilan harus ditegakkan kalau tidak agama dan tradisilah yang akan menuju ke arah kehancuran total.

Sang Kreshna tersenyum karena apa yang diutarakan oleh Arjuna adalah kulit-luar dari kitab-kitab shastra dan Upanishad. Arjuna lupa akan isi ajaran-ajaran semua itu dalam bentuk yang sebenarnya. Apakah dharma itu sebenarnya? Arjuna alpa akan hal itu, baginya dharma adalah tradisi dan peraturan yang sesuai dengan adat-istiadat ritual; bagi Sang Kreshna dharma adalah suatu peraturan atau tata-cara atau hukum yang menganjurkan/mewajibkan seseorang untuk bekerja demi Yang Maha Esa, sesuai dengan segala kehendakNya, untuk mereka-mereka yang menderita dan tersiksa dan diperlakukan tidak adil, dan semua itu tanpa pamrih dalam bentuk apapun juga, tetapi diserahkan kembali kepada Yang Maha Esa.


Page 2 of 2
Berkatalah Sang Maha Pengasih :
11. Dikau bersedih hati untuk mereka yang seharusnya tidak perlu dikau risaukan, tetapi dikau bertutur seakan dikau amat bijaksana. Seseorang yang bijaksana tak pernah bersedih baik untuk yang hidup maupun untuk yang telah tiada.

Kesedihan Arjuna adalah berdasarkan kebodohan, Arjuna tidak sadar akan arti hidup dan mati yang sebenarnya, kedua-duanya adalah permainan Sang Maya (Ilusi-Ilahi), Inti-Jiwa (Atman) kita tak akan pernah mati. Seseorang yang bijaksana akan terus jalan dalam hidup ini penuh dengan dedikasi akan tugas-tugasnya bagi Yang Maha Esa tanpa perduli akan ilusi yang beraneka-ragam bentuknya yang selalu mencoba mencengkeram kita dengan berbagai cara yang baik maupun yang buruk, baik dengan jalan kekerasan maupun kasih-sayang (moha). Bukankah Columbus yang terserang badai dalam suatu pelayarannya pernah berteriak, Lajulah terus, terus dan terus. Di dunia ini tidak ada jalan mundur, yang ada hanyalah jalan terus baik kita mau atau tidak. Tidak ada jalan lain.
       Bab ini disebut Sankhya Yoga yang berarti yoga Kebijaksanaan, kebijaksanaan yang disarikan dari seluruh Upanishad-Upanishad. Sloka 11-38, akan banyak mengupas soal kebijaksanaan ini.

12. Tiada waktu di mana Aku tak pernah hadir dan juga engkau, juga mereka-mereka ini, dan juga semuanya, dan kita semua akan selalu terus hadir.

Badan atau raga kita akan selalu hidup dan mati sesuai dengan masa pakainya, tetapi Inti-Jiwa (Atman) akan selalu mengembara dari satu raga ke raga yang lainnya, tanpa henti sesuai dengan karmanya.  Inilah yang harus disadari Arjuna. Seseorang sebenarnya tidak pernah mati, yang mati adalah raganya, suatu permukaan kasar yang merupakan medium belaka. Raga selalu menikmati semua kesenangan dan juga merasakan penderitaan yang diakibatkan oleh kesenangan itu, tetapi Atman akan jalan terus tanpa terkontaminasi sedikitpun. Arjuna dalam kebodohannya mencampur-adukkan antara yang "nyata" dengan yang "tidak nyata."

13. Sang Inti Jiwa ini berkelana dari satu raga ke raga lainnya sambil melewati masa kanak-kanaknya, masa remaja dan masa tuanya. Seorang yang bijaksana akan maklum akan semua ini dan tidak terpengaruh oleh ilusi ini.

Timbul pertanyaan mengapa Sang Jiwa selalu berkelana dari satu raga ke raga yang lainnya, tidak lain karena harus melalui berbagai perjalanan yang sudah digariskan oleh Yang Maha Pencipta, dan merupakan pengalaman untuk memperkaya diri Sang Atman ini, dan pada akhirnya kembali ke Sang empuNya sesuai dengan tugas dan siklus yang sudah diatur. Sedangkan raga itu sendiri sebagai suatu medium harus juga melalui berbagai tahap seperti masa kanak-kanak, remaja dan masa tua, sesudah itu binasa dan Atman berpindah ke raga lainnya, dan begitulah siklus ini berputar terus seakan-akan tidak ada akhirnya.
14. Setiap hubungan kita dengan berbagai obyek (duniawi), oh Arjuna, menimbulkan dingin dan panas, kesenangan dan penderitaan. Semua ini datang dan pergi, dan tidak abadi. Hadapilah semua ini, Arjuna (sebagai sesuatu fakta).

Atman sendiri sebenarnya tidak terpengaruh oleh semua obyek sensual duniawi ini, yang terpengaruh dan merasakannya ini adalah raga yang ditumpangi Atman. Raga ini setelah ditumpangi Atman akan merasakan dingin dan panas, kesenangan dan penderitaan, dan sebagainya. Semua ini harus kita maklumi dan kita jalani sebagai sesuatu yang datang dan pergi. Kita harus bersikap tidak terikat kepada semua ilusi ini tetapi juga tidak menutup mata, bahkan harus kita hadapi dan rasakan semua itu sebagai dedikasi kita kepadaNya, demi dan untukNya.
15.  Seseorang yang tenang dalam kesenangan dan penderitaan --tidak terusik oleh kedua-duanya -- ia hidup dalam suatu kehidupan yang tak pernah mati, oh pemimpin diantara anak-anak manusia (Arjuna)!
16. Yang tidak sejati tidak mempunyai bentuk, Yang Sejati tak pernah ada habis-habisnya. Kebenaran kedua hal ini telah dirasakan oleh para pencari Kebenaran.
Yang sejati di sini adalah Atman (Inti Jiwa Kita), yang tidak sejati adalah raga kita yang selalu habis dan binasa, sedangkan Atman terus berkelana tanpa ada batas-batasnya. Raga kita berbentuk asat: tidak abadi, dapat rusak atau mati dimakan waktu atau keadaan. Sedangkan Atman adalah sat: Kesejatian yang Abadi, dalam Sat selalu tercipta yang baru, tanpa henti-hentinya, terus-menerus, abadi dan langgeng. Bukankah Itu sama saja dengan Yang Maha Pencipta. Seorang penyair Barat yang terkenal di dunia pernah menulis:
      Yang Satu Abadi, yang banyak berganti dan berlalu, Cahaya Ilahi bersinar tanpa habis, bayangan bumi hilang berterbangan. Hidup, bagaikan sebuah rumah kaca yang memantulkan pelangi berwarna- warni, Sebenarnya bersumber pada warna putih yang abadi. (Percy Bysshe Shelley)
17. Tiada seseorang pun mempunyai kekuatan untuk menghancurkan Yang Tak Pernah Binasa, Yang menunjang semua ini. Ketahuilah Ia tak akan pernah bisa dihancurkan.
Yang dimaksudkan Yang Tak Pernah Binasa di sini adalah Atman (Yang sebenarnya adalah sepercik kecil dari Brahman). Raga kita akan hancur dan berganti raga lain, tetapi Atman tak akan pernah binasa karena Ia abadi.
18. Raga yang ditumpangi Sang Jiwa yang abadi, dan yang tak bisa dihancurkan atau terjangkau oleh pikiran, dikatakan tidak abadi. Jadi berperanglah, oh Arjuna!
19. Seseorang yang berpikir bahwa ia membunuh, atau seseorang yang berpikir ia terbunuh kedua-duanya tidak memahami dengan baik arti dari kebenaran. Tiada seorangpun yang sebenarnya dapat membunuh atau terbunuh.
20. Tak ada seseorangpun yang pernah dilahirkan atau pun suatu saat nanti harus mati. Tak ada seorangpun sebenarnya yang hilang atau terhenti proses hidupnya (eksistensinya). Ia tak pernah dilahirkan, bersifat konstan, abadi dan telah ada semenjak masa yang amat silam. Ia tak pernah mati walau raga habis terbunuh.
Emerson seorang penyair terkenal dari Barat pernah mengatakan tentang Atman sebagai berikut: "Aku datang, lewat dan berputar lagi." Sedangkan Yesus pernah bersabda kepada orang-orang Yahudi, "Ye are gods" (Engkau semuanya adalah dewa-dewa). "Barangsiapa mengenal dirinya sendiri tahu akan Cahaya ini," kata filsuf terkenal Lao Tse dari Cina, sedangkan seorang sufi terkenal pernah berkata, "Inti dirimu adalah inti Tuhan itu sendiri."
21. Seseorang yang mengenal bahwa Jati Dirinya tak akan dapat dihancurkan dan selalu abadi, tak pernah dilahirkan dan tak pernah berganti-ganti, bagaimana mungkin orang seperti itu membunuh, oh Arjuna, atau bahkan mengakibatkan orang lain jadi pembunuh?
"Seseorang yang mengenal Jati Dirinya," sadar Dirinya hanyalah saksi dan bukan yang melakukan sesuatu tindakan atau aksi, inilah arti yang tersirat dari mukti atau penerangan yang sesungguhnya.
22. Seperti seseorang yang mengganti baju usangnya dengan baju yang baru, begitupun Jiwa ini berganti-ganti raga dari yang lama ke yang baru.
Dalam Shanti Parwa yang terdapat di kitab Mahabarata, ada perumpamaan lain dari proses jalannya Jiwa ini yang diibaratkan sebagai seseorang yang pindah dari rumahnya  yang usang ke rumahnya yang baru; inilah jalan kehidupan Sang Jiwa dari raga ke raga lainnya. Tetapi harus diingat bahwa yang dimaksud ini bukan raga manusia saja tetapi bisa juga berbagai ragam raga yang ada di alam semesta ini, seperti hewan, manusia, tumbuh-tumbuhan, raga-raga lainnya yang bertebaran di laut, bumi di sistim planet-planet lainnya atau di mana saja di seluruh alam semesta yang tanpa batas ini. Dan bentuk raga ini bisa saja yang berbentuk abstrak, atau pun dewa-dewi, makhluk-halus, dll, semuanya sesuai kehendakNya dan alur karma  kita sendiri.
23. Tidak ada senjata yang dapat memisah-misahkanNya, tidak juga api dapat membakarNya, atau air membuatNya basah, bahkan anginpun tak dapat mengeringkanNya,
24. Tak terpisahkan Ia. Tak terbakarkan Ia. Tak terbasahkan dan terkeringkan Ia. Ia abadi dan hadir di mana saja. Ia selalu konstan dan tak tergoyahkan. Ia hadir semenjak masa yang amat silam, dan selalu sama selama-lamanya.
Inilah gambaran dari Atman (Inti Jiwa) kita, yang karena bentuknya yang sangat unik, tak dapat digambarkan secara duniawi, tetapi dapat kita fahami sebagai sesuatu yang berbentuk Ilahi dan selalu konstan dan abadi. Tak akan rusak atau pun binasa.
25. Tak terterangkan, tak terpikirkan dan tak dapat diubah-ubah - begitulah Ia disebut. Setelah mengenalNya seperti itu, seharusnya engkau (Arjuna) tak perlu lagi merisaukan hatimu.

Diri ini harus bersih dulu dari segala keterikatan duniawi ini yang aneka-ragam corak dan bentuknya, setelah itu kita akan lebih mengerti akan hadirNya Sang Atman dalam diri kita dan mengenalNya lebih baik. Selama kita masih diliputi rasa-ego (apa saja bentuknya), rasa ketakutan duniawi, dan selalu terikat kepada unsur-unsur disekitar kita; dan tak pernah menyerahkan semua ini kepadaNya secara tulus, selama itu juga yang dekat akan terasa amat jauh. Sebenarnya la amat dekat di dalam diri kita sendiri. Kenalilah Dia !
26. Pun sekiranya kau pikir Sang Jiwa (Atman) ini bisa mati dan hidup, dan tidak bersifat abadi, wahai Arjuna, tak perlu juga dikau harus risau dan bersedih hati.
27. Karena sudah pasti yang lahir harus binasa dan yang binasa harus lahir. Jadi janganlah dikau bersedih untuk sesuatu yang sudah pasti dan semestinya ini.
Sesuatu yang sudah digariskan Ilahi tak akan bisa berubah, jadi sebenarnya tak perlu dirisaukan lagi, que sera sera, apa yang akan terjadi terjadilah. Mati-hidup kemudian hidup-mati, dan seterusnya sudah semestinya begitu, jadi apa yang harus dirisaukan lagi. Tidak ada jalan lain, yang mau tak mau harus kita terima karena sudah tidak ada jalan lain, takdir sudah mengaturnya begitu. Yang penting adalah kesadaran untuk menerimanya sebagai kewajiban kita kepada Ilahi, bukan karena terpaksa.
28. Keadaan dari mereka-mereka yang belum dilahirkan tak dapat diterangkan dalam bentuk duniawi ini. Tetapi pada periode antara kelahiran dan kematian situasi mereka dapat kita lihat dan fahami. Setelah mati mereka kembali lagi ke suasana yang tak dapat diterangkan ini lagi. Jadi untuk apa dikau harus bersedih hati, wahai Arjuna?
Jadi sebenarnya yang diketahui oleh kita manusia ini hanyalah bentuk kehidupan yang terjadi antara kelahiran sampai dengan kematian kita dan orang-orang disekitar kita saja.  Sebelum dan sesudah itu gelap dan tidak terang bagi kita. Yang kita rasakan atau kita lihat hanya sedikit yang ditengah-tengah saja, ujung dan pangkalnya kita tak akan pernah tahu. Lalu untuk apa kita bersedih hati, toh kita datang dari suatu alam yang tidak kita ketahui dan kemudian harus kembali ke sana juga, dan ini berlangsung terus tanpa henti-hentinya. Lalu untuk apa risau akan semua masalah yang harus kita hadapi, bukankah kita ini sebenarnya hanya alatNya saja di dunia ini, yang dikirimkan untuk melakukan tugas-tugasNya saja, jadi berbaktilah kita seharusnya sesuai dengan kehendakNya. Itulah dharma-bhakti yang semestinya.
29. Ada yang mengesankanNya sebagai sesuatu yang amat menakjubkan, ada yang membicarakanNya sebagai sesuatu yang amat menakjubkan, dan ada juga yang mendengarkanNya sebagai sesuatu yang amat menakjubkan, tetapi tak seorang pun yang benar-benar dapat mengenalNya (mengetahuiNya) dengan pasti apa Ia sebenarnya.
Kebenaran tentang Atman sebenarnya terbuka untuk kita semuanya; dan mereka-mereka yang merasakanNya menjadi takjub sendiri. Toh tidak semua kita ini dapat merasakan ketakjuban ini, karena sudah tersandung dalam perjalanan sebelum mencapaiNya. Ada yang ragu-ragu, ada yang terhadang oleh kesulitan-kesulitan dan hanya sedikit yang sampai ke Tujuan yang menakjubkan ini.
Timbul pertanyaan kalau Dia memang mengasihi kita lalu mengapa banyak yang harus tersandung sebelum mencapaiNya? Sebenarnya Yang Maha Kuasa memberikan kita kebebasan untuk memilih. Sering sekali kita-kita ini lebih condong untuk terikat dengan segala unsur-unsur duniawi ini yang seakan-akan sudah jadi milik kita atau sudah menjadi urusan pribadi kita yang tak dapat diganggu-gugat. Seharusnya kita melepaskan semua unsur ego baik yang positif maupun yang negatif, dan menyerahkannya semua kepadaNya untuk kemudian dibimbing olehNya sesuai dengan kehendakNya. Jadilah seperti seorang anak kecil yang bersandar pada orang-tuanya, polos, bersih dan jujur dalam segala aspeknya. Dan seperti juga orang-tua kita yang akan selalu membimbing kita dalam suka dan duka, maka Yang Maha Kuasa pun akan selalu menunjukkan jalan kita dalam setiap tindak-tanduk kita. Ia sebenarnya setiap hari mengetuk pintu hati kita dan tersenyum penuh cinta-kasih, yang menjadi masalah adalah kita menganggapNya Ia berada di tempat yang amat jauh. Bukankah Ia tersirat dalam keheningan, bahkan Ia sebenamya dapat ditemui setiap saat dalam diri pribadi kita masing-masing yang juga adalah DiriNya sendiri. la hadir selalu dalam diri kita, tak usah jauh-jauh mencarinya di hutan atau di laut, di bulan atau di matahari, carilah Dia dalam ketenangan dirimu senidiri.
30. Ia yang bersemayam dalam setiap makhluk - adalah Kehidupan dalam setiap makhluk -- Ia tak tersentuh senjata apapun juga. Jadi Arjuna, seharusnya dikau tidak bersedih hati untuk makhluk apapun juga.
       Yang dimaksud Sang Kreshna di sini, adalah Sang Arjuna boleh saja memikirkan dan memperhatikan semua makhluk di dunia ini, malahan itulah salah satu aspek penting dalam dharma. Tetapi juga harus tahu bahwa yang bersemayam dalam setiap makhluk ini, yang disebut Atman tak akan bisa binasa walau apapun yang terjadi. Jadi sebenamya Arjuna tidak perlu sedih, karena kesedihan itu sia-sia belaka, takdir sudah menentukan jalan hidup setiap makhluk ciptaanNya sesuai kehendakNya dan bukan sesuai kehendak Arjuna atau kita semuanya.
31. Dedikasikan dirimu kepada kewajibanmu dan jangan kau ingkari itu. Karena tidak ada imbalan yang lebih baik untuk seorang kshatrya, daripada suatu perang demi kebenaran.
Dharma demi kebenaran adalah tugas suci untuk siapa saja, apalagi kalau ia seorang kshatrya yang seharusnya membela nusa dan bangsa serta negaranya dari segala kezaliman dan angkara-murka. Dalam salah satu kisah Mahabarata tertulis, "Barangsiapa menyelamatkan suatu kehancuran adalah seorang kshatrya" dan juga tertulis di bagian lainnya, "Hanya ada dua tipe manusia yang dapat mencapai alam Brahman setelah melewati konstelasi matahari: yang pertama adalah para sanyasin (orang-orang suci) yang telah dalam ilmu pengetahuannya dan yang kedua adalah para kshatrya yang mati dalam peperangan membela kebenaran." Bukankah itu berarti bahwa kalau kita selamanya berjalan/berperang demi kebenaran maka kita sedang menuju ke arahnya, Yang Maha Pencipta.
32. Berbahagialah mereka para kshatrya, yang harus berperang demi kebenaran -- terbukalah kesempatan ke sorga tanpa mereka minta.
       Sang Kreshna di sini menegaskan bahwa berperang/mati demi kebenaran membawa kita langsung ke alam sorga; ini berarti bahwa berperang demi kebenaran adalah tugas yang maha suci bagi kita dari Yang Maha Esa. Kalau direnungkan dengan baik-baik bukankah kita dikelilingi oleh berbagai bentuk tidak kebenaran dalam hidup ini, dari segala bentuk nafsu-nafsu pribadi kita yang negatif sampai ke penindasan yang tidak berprikemanusian dalam prilaku manusia.  Sesuatu bentuk pcmerintahan, diskriminasi, dan berbagai aspek tidak benar lainnya yang seakan-akan tidak ada habis-habisnya dan semua itu bertebaran di sekeliling kita setiap saat.
33. Dan seandainya dikau tak maju berperang di jalan yang suci ini, dikau akan mengabaikan kewajiban dan kehormatan, dan dikau akan dikejar-kejar oleh perasaan salahmu itu.
Seseorang yang berjalan atau berjuang di jalan kebenaran harus siap mengorbankan segala miliknya. Bukan saja sanak-saudara dan harta bendanya tetapi juga nyawanya sendiri. Apalagi untuk suatu tugas yang besar dan suci. Sebagai seorang kshatrya, seandainya Arjuna mengingkari kewajibannya ini, maka ia akan kehilangan segala kehormatannya.
34. Setiap orang akan menghinamu, dan bagi seorang yang terhormat, penghinaaan adalah lebih buruk dari suatu kematian.
35. Para pendekar-pendekar yang besar akan mengira dikau mundur dari peperangan ini karena rasa ketakutanmu. Dan mereka-mereka yang menghormatimu akan memandang rendah padamu.
36. Belum lagi hinaan-hinaan lainnya yang diucapkan oleh musuh-musuhmu, semua itu akan membuatmu lebih lemah lagi. Adakah yang lebih menyakitkan dari semua itu?
37. Seandainya dikau terbunuh, maka dikau akan ke sorgaloka. Sekiranya dikau perkasa dalam peperangan ini, maka dikau akan menikmati bumiloka ini.
Jadi bangkitlah wahai putra Kunti (Arjuna) dan angkatlah senjata untuk yudhamu ini.
38. Samakanlah rasa nikmat dengan derita, laba dengan rugi, menang dengan kalah, bersiaplah untuk yudha ini. Dengan begitu dikau tak akan tercemar oleh dosa.
Pada sloka-sloka sebelumnya Sang Kreshna menyindir rasa ego dan tanggung-jawab Arjuna pada dharma yang sebenarnya. Di sloka atas ini Sang Kreshna meminta agar Arjuna melaksanakan kewajibannya yang tertinggi yaitu berperang menegakkan kebenaran. Tugas ini merupakan tugas yang amat suci bagi seorang kshatrya demi Yang Maha Esa dan kebenaran.
39. Sejauh ini Aku telah menerangkan tentang ajaran Sankhya. Sekarang dengarkanlah ajaran mengenai Yoga (llmu pengetahuan), dengan mengikuti ajaran ini dikau akan lepas dari ikatan-ikatan perbuatanmu.
       Yang dimaksud dengan ajaran Sankhya ini adalah ajaran Bhagavat Gita mengenai KeTuhanan yang Maha Esa, secara khusus Tentang Sang Jati Diri (Sang Atman). Yang diajarkan adalah hubungan Sang Atman dan raga kita, di sini ditekankan bahwa Sang Atman yang merupakan inti dari jiwa kita itu tak mungkin dapat binasa, walau raga kita hancur sekali pun. Sedang yang dimaksud dengan Yoga di sini, adalah llmu pengetahuan yang sejati. Ajaran Sankhya ini tidak dapat ditelaah begitu saja, melainkan harus disertai atau didasarkan pada yoga tentang dharma-bhakti kita kepada Yang Maha Esa secara benar. Tetapi semua dharma-bhakti ini harus dilakukan dengan menyamakan rasa kita terhadap dua sifat dualisme yang saling berkontradiksi, yaitu memandang atau merasa sama akan senang dan susah, untung dan rugi, panas dan dingin, dan lain sebagainya.
       Lalu bagaimana seseorang dapat mencapai tingkat kesadaran semacam ini? Caranya adalah dengan menggabungkan daya-intelek (budhi) kita dengan jalan pikiran kita. Setelah intelek kita sadar bahwa semua unsur dualisme yang kelihatannya amat berlawanan ini sebenarnya sama saja, dan hanya merupakan permainan pikiran kita belaka, maka secara tahap demi tahap kesadaran kita akan meningkat dan kita akan melaju ke arah Yang Maha Esa dengan baik, dan jadilah kita seorang Buddhi-Yukta (seorang yang telah mencapai kesadaran).
       Seorang Buddhi-Yukta yang baik adalah ia yang telah berhasil mengendalikan hawa-nafsunya yang bersifat aneka-ragam. Ia juga adalah seorang yang bersikap sama dan tenang dalam setiap keberhasilan maupun kegagalan, bersikap tenang dalam segala tugas-tugasnya, dan tidak memiliki ambisi pribadi tertentu atau nafsu duniawi lagi. Semua perbuatannya sudah menjadi kewajibannya untuk Yang Maha Esa semata. Seseorang semacam ini tidak perlu harus dapat melihat Sang Atman yang bersemayam di dalam dirinya, tetap sudah pasti ia akan dapat merasakan kehadiran Sang Atman ini. Seorang Buddhi-Yukta yang sempurna akan selalu tenang tindak-tanduknya, dan stabil jiwanya, akibat dari pengaruh Sang Atman yang bersemayam di dalam dirinya.
40. Di jalan ini tidak ada usaha yang akan sia-sia, dan tak ada rintangan yang akan bertahan lama. Sedikit saja usaha dharma ini akan melepaskan seseorang dari rasa takut yang besar.
       Sedikit saja usaha ke arah dharma (jalan kebenaran) ternyata akan melepaskan kita dari samsara, yaitu penderitaan di dunia ini yang tak ada habis-habisnya.  Karena jalan akhir dari dharma adalah kebebasan mutlak dan kembali ke Ilahi Yang Tanpa Batas.
41. Budhi (Kesadaran Intelektual) ini, Arjuna, sifatnya tegas dan hanya menunjuk ke satu arah saja. Tetapi mereka yang tidak tegas dalam dharma-bhaktinya, maka cara berpikirnya akan berjalan keberbagai arah seakan-akan tiada habis-habisnya.
Budhi adalah suatu kesadaran total seseorang; yang memilikinya akan selalu bersifat satu arah saja, yaitu bekerja demi Yang Maha Esa semata tanpa pamrih sekecil apapun juga. Sedangkan bagi mereka yang belum sadar, maka cara atau pola berpikirnya pasti didasarkan oleh kebutuhan-kebutuhan nafsu, keinginan, selera, ego dan pertimbangan-pertimbangan duniawi lainnya dan efek-efeknya, jadi nafsu mereka pasti tidak akan ada habis-habisnya karena didasarkan oleh banyaknya kebutuhan atau tujuan mereka. Budhi bersifat eka sedangkan nafsu bersifat ananta (aneka ragam tanpa habis-habisnya).
42. Kata-kata manis diucapkan oleh seseorang yang tidak dapat membedakan, yang tidak bijaksana, yang lebih tertarik dan bahagia dengan kata-kata yang terdapat di Veda-Veda yang memuat: "yang ada hanyalah ini saja!"
      Disinilah kita harus mencamkan sabda Sang Kreshna di atas ini yang merupakan peringatan bagi kita-kita yang lebih mementingkan ritus-ritus atau tradisi agama atau dogma, daripada Yang Maha Esa itu sendiri. Karena semua itu bukan jalan yang sebenarnya ke arah Yang Maha Esa. Kata-kata indah dalam weda yang dianggap suci dan indah tidak akan bermakna kalau tidak didasari dengan dharma-bhakti kita kepada Yang Maha Esa.
43. Mereka-mereka ini penuh dengan keinginan duniawi. Tujuan akhir mereka adalah sorga. Akibatnya mereka ini akan lahir kembali. Mereka melakukan berbagai upacara keagamaan hanya untuk mendapatkan kesentosaan dan kekuatan duniawi.
Mereka-mereka yang melakukan upacara-upacara keagamaan dengan tujuan tertentu akan mendapatkan keinginan mereka masing-masing, tetapi tindakan keagamaan ini tidak akan membebaskan mereka dari samsara, melainkan membuat mereka lahir kembali ke dunia ini sesuai dengan karma-karma mereka. Sedangkan seorang karma-yogi yang bekerja semata-mata demi Yang Maha Esa, maka karmanya akan merupakan pengorbanan yang tulus dan tanpa pamrih kepada Yang Maha Esa (merupakan yagna, pengorbanan atau sesajen).
44. Budhi ini bukan untuk mereka yang hidupnya hanya untuk agama yang dipraktekkan demi kesenangan duniawi, yang berdasarkan kata-kata Veda, karena pengetahuan ini memerlukan tekad yang keras demi melepaskan unsur-unsur duniawi (seseorang).
45. Di dalam Veda terdapat ajaran mengenai tiga jenis guna (kualitas atau sifat manusia). Bebaskanlah dirimu, oh Arjuna dari ketiga kualitas ini. Bebaskanlah dirimu dari kedua sifat yang saling berkontradiksi. Tegak dan berakarlah ke dalam kebersihan jiwamu, dalam sifat kebenaran yang abadi, tanpa merasa memiliki suatu apapun: milikilah Dirimu sendiri - Gurumu!
      Veda mengajarkan tentang guna, yaitu tiga sifat atau jenis kualitas manusia. Yang pertama sattva, yaitu sifat yang penuh dengan unsur-unsur kebajikan, kecerdasan, kesucian, kejernihan dan berbagai hal-hal lainnya yang penuh dengan unsur kebaikan. Yang kedua disebut sifat raja, yaitu sifat atau aktivitas yang sifatnya menggebu-gebu, juga suatu bentuk sifat yang selalu ingin memiliki atau mengetahui hal-hal yang baru, dan sifat-sifat lain yang pada dasarnya selalu penuh dengan energi dan aktivitas. Sifat ini identik dengan pikiran kita pada umumnya yang selalu menerawang tanpa henti-hentinya, tanpa batas. Sifat yang ketiga disebut Jama, yaitu sifat-sifat manusia yang selalu menjurus ke arah kebobrokan mental seperti sifat-sifat pemalas, peminum, penjudi, seks-maniak, sifat yang penuh dengan unsur-unsur gelap yang lengkap sifatnya. Ketiga sifat ini hadir dalam pikiran dan raga kita, sedangkan Sang Atman atau Sang Jati Diri kita duduk bersemayam terpisah dari mereka ini semuanya. Sang Atman adalah saksi Ilahi dalam diri kita sendiri, suatu bentuk Kesadaran Ilahi yang sukar diterangkan dengan kata-kata, yang bagi yang telah merasakan atau menyadariNya merupakan Keberkahan Nan Abadi.
Sebenarnya di sini Sang Kreshna sedang menganjurkan kita semua agar mencari dan menemukan Sang Atman dalam diri kita masing-masing dan menyembah dan memujaNya penuh dengan dedikasi dan dharma bhakti. Caranya adalah dengan membebaskan diri kita dari sifat atau rasa dualisme yang saling berkontradiksi yang hadir dalam setiap aspek kehidupan kita. Juga membebaskan diri kita dari rasa ego, dari rasa iri dan benci, dari segala perhitungan-perhitungan atau rencana yang bersifat amat duniawi, dan hanya memfokuskan diri kita ke suatu jalan yang penuh dengan sattva, tetapi bukan yang bersifat sattva duniawi tetapi Sattva Ilahi. Dengan kata lain jadilah seorang manusia sejati bagi dirimu sendiri, bagi masyarakat banyak dan yang terutama bagi Yang Maha Esa. Jadilah manusia yang lepas dari segala unsur duniawi dan hiduplah secara cukup dan sederhana saja, puas dengan apapun yang diberikan oleh Yang Maha Esa, puas dengan diri dan Diri mu sendiri, sadar akan DiriNya (Sang Atman), yang hadir di dalam diri kita semua dan bekerja atau hidup demi Ia semata.
46. Kegunaan Veda-Veda untuk seorang Brahmin yang telah mendapatkan penerangan Ilahi adalah ibarat sebuah kolam air yang terletak ditengah-tengah genangan air banjir (bah).
     Seorang Brahmin atau Brahmana yang sejati bukanlah yang dinyatakan secara kastanya, melainkan adalah seorang yang secara sejati menemukan kesadaran Ilahi dan bekerja untukNya tanpa pamrih. Bagi orang semacam ini atau yang sudah sampai  ke taraf ini, semua ajaran-ajaran Veda termasuk semua tradisi agama atau pun upacara-upacara ritual menjadi sekadar simbol saja. Di sloka di atas , diibaratkan seperti sebuah kolam air tawar ditengah-tengah air bah atau banjir. Dengan kata lain bagi seorang Brahmin yang sejati, ajaran-ajaran Veda sudah tidak berarti lagi untuknya karena ia telah melewati semua itu, dan telah mencapai suatu ajaran Ilahi yang sejati atau dengan kata lain telah mencapai penerangan Ilahi yang tak terbatas sifatnya.
47. Engkau hanya berhak untuk bekerja, tidak untuk hasilnya. Jangan sekali-kali motif pekerjaanmu mengarah ke hasil akhir (imbalan dari pekerjaan ini), dan jangan juga sekali-kali engkau tidak bekerja.
       Jangan mengharapkan suatu imbalan/buah/hasil untuk setiap tindakan atau perbuatan atau pekerjaan kita dengan harapan duniawi kita, tetapi pasrahkanlah hasil-akhir atau efek dari semua perbuatan ini kepadaNya semata. Semua hasil atau efek dari perbuatan ini adalah la yang menentukan dan akan terjadi sesuai dengan kehendakNya tanpa lebih maupun kurang. Setiap tindakan atau perbuatan kita harus didasarkan atas kesadaran bahwa semuanya demi dan untuk Ia semata. Dengan bekerja untukNya tak mungkin kita diarahkan ke jalan yang salah atau merugikan orang lain. Semua hasil tindakan harus diambil hikmahnya dengan tulus.
48. Lakukan tindakanmu, oh Arjuna! dengan hati yang terpusat pada Yang Maha Esa, tanpa keterikatan dan bersikaplah sama untuk semua kesuksesan dan kegagalanmu. Hati yang damai dan penuh rasa bimbang adalah suatu yoga.
Yoga di sini jadi lebih terang dan luas artinya. Yoga itu disebut samatvan, yaitu pikiran dan hati yang selalu seimbang dalam setiap situasi baik menghadapi sesuatu kegagalan maupun kesuksesan, buruk atau yang baik dan seterusnya. Seandainya seseorang di dalam setiap tindak-tanduknya dapat selalu balans atau seimbang dan tak terpengaruh oleh emosinya, maka ia akan mencapai rasa ketenangan di dalam dirinya dan inilah yang disebut oleh orang-orang Hindu sebagai yoga yang sejati.
49. Pekerjaan demi suatu imbalan itu lebih rendah derajatnya daripada Buddhi-yoga, oh Arjuna! Maka selalulah bernaung dibawah buddhi (intelek)mu. Kasihan mereka yang bekerja untuk suatu imbalan tertentu.
       Pekerjaan yang benar dan bersih dari segala unsur-unsur duniawi akan melajukan perjalanan kita ke arah Yang Maha Kuasa karena memang itulah yang diajarkan oleh Sang Kreshna. Janganlah seseorang bekerja demi nama, rumah-tangga, dan kedudukannya dalam masyarakat, bekerjalah semua itu tetapi berdasarkan dedikasi kita kepada Yang Maha Esa semata, sebagai bhakti kita kepadaNya. Dan jenis pekerjaan itu bisa apa saja, dari pekerjaan seorang pembersih sampai ke pekerjaan seorang pendeta, tetapi harus bermotifkan dedikasi yang tulus dan bukan didasarkan pada imbalan atau efek yang akan diterima. Semuanya terserah Ia yang menentukan, kita bekerja tanpa pamrih.
50. Ia yang telah menjadikan dirinya seorang Buddhi-Yukta (yang telah sadar dan mendapatkan kesadaran Ilahi) akan mengesampingkan semua yang baik dan buruk dalam hidup ini. Jadi berjuanglah untuk Yoga; Yoga ini lebih bermanfaat dari suatu tindakan yang penuh harapan akan suatu imbalan.
       Seorang yang telah sadar akan peranannya dalam hidup ini suatu saat akan mengerti bahwa kebaikan dan keburukan sebenarnya hanyalah berupa ilusi dari Sang Maya (Kekuatan dari Yang Maha Esa juga). Sesuai dengan tugas-tugas maka kita hidup di dunia ini hanyalah sekedar sebagai alat-alatNya. dan tentu saja terserah kepada Yang Maha Kuasa apakah kita ini jadi alat yang baik atau alat yang buruk. Seorang yang telah mencapai tingkat kesadaran yang benar akan memandang sama, dengan mata, hati dan pikiran yang sama kepada semua makhluk, semua unsur  baik dan buruk pada setiap makhluk. Orang semacam ini akan selalu tunduk atas segala kehendakNya, dan tindak-tanduk maupun pikirannya akan selalu bersandar pada Yang Maha Esa, dan selalu minta dituntun sesuai dengan kehendakNya semata. Orang semacam ini akan selalu bergairah untuk bekerja: bukan malahan tidak bekerja karena berpikir semua sudah jadi kehendakNya,
51. Mereka-mereka yang bijaksana dan telah mendapatkan penerangan menyerahkan semua imbalan dari setiap pekerjaan (tindakan) mereka; lepas dari siklus kelahiran, mereka pergi ke alam yang tanpa derita.
       Seandainya hati dan pikiran kita telah bersih dari segala nafsu duniawi dan budhi (daya intelektual) kita penuh dengan kesadaran atau penerangan, maka setiap tindakan kita malahan akan merupakan ekspresi kebebasan jiwa kita. Dan jiwa kita akan menanjak dalam perjalannya dari bhakti dan gnana (kesadaran) ke arah Berkah Sang Ilahi, kemudian menyusul kepembebasan jiwa kita dari siklus hidup dan mati di dunia ini (moksha). Di bawah ini terdapat beberapa anak-anak tangga yang lebih terperinci sifatnya:
1)      Karma-yoga : menyerahkan semua imbalan/hasil dari setiap pekerjaan atau perbuatan baik    secara mental maupun secara fisik kepadaNya.
2)      Bangkitnya kesadaran intelektual kita (buddhi), dan timbullah kebijaksanaan Ilahi.
3)      Lepas dari ikatan lahir dan mati.
4)      Mencapai berkah Ilahi, lalu terus ke moksha.

52. Sewaktu kesadaranmu melewati putaran kegelapan (moha), maka dikau akan mencapai suatu kesadaran tentang apa yang telah kau dengar dan apa lagi yang akan kau dengar.

Sewaktu kesadaran kita telah mencapai suatu tahap di mana segala nafsu telah berhenti berfungsi dan tidak penting lagi artinya, maka di situ kita akan merasakan perbedaan-perbedaan atau arti sebenarnya akan semua tradisi, upacara keagamaan, dan lain sebagainya yang dianjurkan di weda-weda.
53. Sewaktu kesadaranmu, yang salah mengerti tentang shruti (ayat-ayat Veda), mencapai suatu tahap yang kukuh dan tak tergoyahkan dan jiwamu tenang dalam samadi, disitulah dikau akan mencapai yoga (penerangan ke dalam).
Samadi adalah konsentrasi jiwa kita ke Inti Jiwa (Sang Atman atau Sang Jati Diri) yang berada di dalam jiwa kita sendiri. Samadi adalah dialog atau pertemuan diantara kita dan Sang Atman. Pertemuan atau sentuhan ini dapat tercapai bila seseorang lepas dari segala keterikatannya dalam melakukan setiap tugas-tugas duniawinya, termasuk di dalamnya tugas-tugas keagamaannya. Semua tugas-tugas ini harus dilakukan dengan pikiran yang sinkron atau selaras dengan kehendakNya. Bagaimana mungkin kita tahu bahwa apa yang kita kerjakan itu selaras dengan kehendakNya; dengan menyerahkan hasil dari perbuatan ini kepadaNya secara total dan kemudian terserah Ia akan efek-efeknya kemudian. Orang semacam ini yang menyerahkan hasil pekerjaannya bulat-bulat kepada Yang Maha Esa akan tegak dan kokoh merasakan semua hasil dari pekerjaan atau perbuatannya yang berefek baik atau buruk, negatif atau positif baginya atau bagi yang lainnya sebagai kehendakNya. Ia lebih bertindak sebagai alat atau petugas Yang Maha Esa dan jauh dari hasil perbuatan-perbuatannya. Karena ia tidak mengharapkan pamrih dari pekerjaan/perbuatannya, maka selalu ia berpikir semua terserah kehendak Ilahi. Selamanya ia akan teguh menghadapi apapun juga, dan kalau sudah mencapai tahap ini, komunikasi atau samadinya dengan Sang Atman akan tercipta dan terjalan dengan amat baik.
      Berkatalah Arjuna :
54. Apa saja ciri-ciri seseorang yang telah mencapai kebijaksanaan yang stabil ini, yang teguh dalam segala hal, dan telah bersatu dengan Sang Brahman, oh Kreshna? Bagaimanakah seseorang yang telah mendapatkan kesadaran Ilahi ini berbicara? Bagaimanakah cara duduknya? Dan bagaimana cara ia berjalan?
Arjuna seperti juga kita semuanya ingin sekali mengetahui ciri-ciri khas seseorang yang telah bijaksana dan mencapai kesadaran Ilahi ini. Sang Kreshna pun menjawabnya satu persatu dengan senang hati, misalnya di sloka 55, 61 dan 64 yang mendatang ini diterangkan tentang cara orang bijaksana ini duduk. Di sloka 56 diterangkan tentang caranya berbicara dan di sloka 58 tentang caranya ia bergerak dalam hidupnya.
      Berkatalah Sang Maha Pengasih :
55. Sewaktu seseorang mengesampingkan semua nafsu-nafsu duniawi yang ada di dalam pikirannya dan merasa puas dalam DiriNya oleh DiriNya, akan ia disebut sthita-prajna, seorang yang melihat kebijaksanaan secara tegar.
       Seseorang yang merasa puas dengan DiriNya (Sang Atman) dan semua sentuhan Sang Atman terhadap dirinya adalah seorang yang sudah mencapai suatu penerangan Ilahi, dan telah berubah tegar dalam setiap hal yang dihadapinya.
56. Ia yang bebas pikirannya dari rasa gelisah di kala duka dan sakit, merasa tenang saja di kala senang, lepas dari nafsu duniawi, dari rasa ketakutan dan marah, adalah seorang yang telah mendapatkan penerangan.
57. Ia yang tak terikat dari sisi mana pun juga, yang tidak pernah benci maupun cinta pada suatu obyek, yang bertindak secara netral terhadap suatu yang adil maupun yang tidak adil, orang semacam itu mempunyai pengertian yang tegar dalam kebijaksanaannya.
Orang yang telah tegar dalam penerangan atau kesadaran adalah seseorang yang menjadi saksi dalam kehidupannya dan kehidupan di sekitarnya. la berdiri di atas semua faktor baik yang negatif maupun positif. Baginya semua itu hanya ilusi saja dan merupakan proses dalam kehidupan setiap orang. Bukannya lalu berarti ia sudah lemah jalan pikiran atau tindak tanduknya, tetapi ini justru merupakan ekspresi sejati dari kebebasannya yang tulus, kuat dan penuh dengan semangat dedikasi kepadaNya. Ia puas dengan apapun yang diberikanNya, dan setiap hal yang menimpanya dianggap biasa-biasa saja baik itu berupa kesenangan maupun kedukaan.
58. Ia yang menarik seluruh organ-organ nafsunya dari semua obyek-obyek nafsunya dari segala jurusan, ibarat seekor kura-kura yang menarik semua kaki-kakinya ke dalam tempurungnya, adalah seorang yang telah tegar rasa pengertiannya dan teguh dalam kebijaksanaan.
       Perumpamaan seekor kura-kura adalah suatu contoh yang amat baik, karena sekali seekor kura-kura menarik semua kaki-kakinya ke dalam tempurung, maka ia tenang-tenang saja menghadapi reaksi atau ancaman dari luar, karena sudah merasa aman di dalam tempurungnya ini. Dengan kata lain dapat diibaratkan sebagai "bersemedi di dalam tempurungnya tanpa rasa keterikatan dengan apapun di luarnya."
59. Obyek-obyek sensual akan menjauh dari seseorang yang tidak mau memberikan umpan kepada mereka, tetapi akan menetap pada mereka yang menyenanginya. Bahkan sisa-sisa keinginan pun akan pergi dari seseorang yang telah melihatNya (Yang Maha Esa).
       Penyerahan total kepada Yang Maha Kuasa bukan saja berarti menjauhi semua unsur-unsur duniawi saja tetapi juga berarti menghilangkan sisa-sisa selera yang masih ada dalam diri seseorang. Bagi yang telah merasakan sentuhan Ilahi, tidak sedikit pun selera duniawi yang dirasakannya. Baginya Yang Satu itulah segala-galanya dan Yang Terindah.
60. Oh Arjuna! Organ-organ sensual yang terangsang akan segera menggerakkan pikiran seseorang, walaupun ia seorang yang bijaksana dan sedang jalan menuju ke arah sempurna.
Walaupun seseorang telah bertahun-tahun berusaha menuju ke arah penerangan dan mengabaikan semua kebutuhan sensualnya, tetapi selama ia masih menyimpan selera untuk hal-hal yang bersifat duniawi, maka setiap waktu ia bisa saja jatuh bangun oleh hal-hal yang bersifat duniawi ini. Maka janganlah heran atau tertawa mengejek melihat seorang yang dianggap bijaksana atau suci tersandung oleh hal-hal yang berbau duniawi, karena organ-organ sensual dan pikiran kita memang sangat peka dan mudah dipermainkan oleh Sang Maya.
61. Dengan mengendalikan semua organ-organ sensualnya, ia harus duduk secara harmonis dan menjadikan Aku sebagai Tujuannya yang Terakhir. Seorang yang telah berhasil mengatasi semua organ-organ sensualnya, akan segera mencapai kesadaran yang tegar.
       Duduk dan bermeditasi dengan teratur, mengendalikan semua unsur-unsur duniawi kita (organ-organ sensual kita) baik lahir maupun batin, dan selalu memfokuskan pikiran dan tindak-tanduk kita ke Yang Maha Kuasa secara konstan akan menghasilkan suatu penerangan Ilahi atau kesadaran Ilahi yang tegar. Semua ini memerlukan disiplin pribadi yang kuat dan salah satu cara untuk membentuk disiplin ini adalah dengan bermeditasi secara tekun.
62. Seandainya seseorang mengarahkan pikirannya ke arah obyek-obyek sensual, maka ia akan menghasilkan keterikatan pada obyek-obyek ini. Dari keterikatan ini timbullah hawa-nafsu. Dari hawa nafsu timbullah rasa amarah. 
       Seseorang yang berpikir senantiasa akan hal-hal yang duniawi akan terikat kepada hal-hal ini, dan sekali terikat akan menjadi kebiasaan. Dan kebiasaan ini kalau sekali-kali tak didapatkannya akan menimbulkan rasa amarahnya, rasa-kesal, dan memuncak menjadi angkara-murka. Jadi yang penting bukan saja penyerahan total dari nafsu-nafsu atau berbagai keinginan kita tetapi juga pikiran-pikiran kita, karena di dalam pikiranlah sebenamya terdapat benih atau asal dosa.
63. Dari marah timbullah angkara-murka, dan keangkara-murkaan akan menghilangkan akal-sehat, dan dengan hilangnya akal-sehat ini hancurlah daya intelek dan kesadaran (buddhi) kita, dan dengan hilangnya buddhi ini maka ia akan binasa.
Kalau pikiran sudah kacau maka lupalah kita akan pengalaman-pengalaman pahit kita yang lampau, karena hilang sudah akal-sehat kita dan rasio kita porak-poranda jadinya. Lupalah kita akan hal yang baik dan buruk, dan pada skala besar kalau kita jadi tersesat karenanya, maka lupalah kita akan tujuan kita lahir ke dunia ini. Itu berarti binasalah kita secara spiritual.
64. Tetapi seseorang yang penuh dengan disiplin, yang bergerak di tengah-tengah obyek-obyek sensual tanpa suatu keterikatan kepada obyek-obyek sensual ini dan dapat mengendalikan dirinya dengan baik, akan pergi ke suatu kedamaian yang luhur.
Bhagavat Gita menganjurkan kita semua untuk mengendalikan (bukan menghentikan) semua organ-organ sensual (indra-indra) kita dengan mengendalikan jalan pikiran kita melalui suatu proses disiplin. Ini berarti belajar mengendalikan diri, pikiran dan indra-indra kita. Lari dari kenyataan dunia ini (hal-hal yang bersifat duniawi) adalah percuma atau sia-sia saja, jadi dianjurkan untuk hidup ditengah-tengah obyek-obyek duniawi ini dengan mengendalikan diri kita sendiri, maka akan sampailah rasa perdamaian atau ketenangan yang luhur. Rasa perdamaian ini akan timbul dari suatu hati yang penuh dedikasi kepadaNya semata, hati yang betul-betul luhur dan bersih.
65. Setelah mencapai kedamaian, maka berakhirlah derita seseorang, dan seorang dengan kedamaian semacam ini akan segera mencapai keseimbangan yang stabil.
Bagi yang tak mau atau takut mengendalikan dirinya, maka jalan ke arah damai atau ketenangan tidak akan pernah terbuka. Sedangkan bagi yang penuh disiplin, daya-juang dan tekad, yang penuh dengan kendali, maka mereka ini akan menuju ke arah Yang Maha Esa, dan karena konsentrasinya ini maka mereka ini akan mencapai tahap berkah Ilahi dalam bentuk kedamaian yang abadi dan tak tergoyahkan. Dalam suka dan duka mereka ibarat timbangan yang stabil dan tidak condong menurun ke satu arah.
66. Untuk yang tak pernah mengendalikan diri, tak akan ada buddhi, untuk yang tak pernah mengendalikan diri tak akan ada konsentrasi. Dan kalau tak ada konsentrasi maka tak akan ada kedamaian, dan kalau seseorang tak memiliki kedamaian maka bagaimana mungkin ia akan memiliki kebahagiaan?
67. Sewaktu pikiran mengejar obyek-obyek sensual, maka pergi jugalah prajna (kebijaksanaan, kesadaran), ibarat arus yang menyeret sebuah perahu di lautan.
68. Jadi, oh Arjuna, ia yang seluruh indra-indranya telah terkendali dari obyek-obyek sensual, maka buddhinya telah mencapai keteguhan.
69. Apa yang merupakan malam bagi semua insan, bagi seorang yang penuh disiplin dirasakan sebagai pagi hari. Dan apa yang merupakan pagi bagi semua insan merupakan malam untuk seorang muni (seorang yang telah mencapai kesadaran penuh).
Semua manusia mungkin atau sedang larut dalam tidurnya Sang Maya, tetapi seorang muni akan tegar terbangun dan bernafas dalam kesadarannya. la acuh saja terhadap ilusi Sang Maya.  Sebaliknya ia akan tertidur untuk hal-hal yang bersifat duniawi yang bagi manusia pada umunya akan merupakan kebutuhan yang amat vital, karena mereka mengikuti indra-indra mereka tanpa kendali. la terpejam untuk duniawi tetapi matanya terbuka selalu ke arah Ilahi dan cinta-kasihNya Yang Agung, yang tak pernah kunjung habis.
70. Seseorang yang kemauan-kemauan indranya, ibarat sungai-sungai mengalir ke lautan yang selamanya tenang-tenang saja menerima aliran-aliran sungai ini. Orang ini akan mencapai kedamaian, bukan ia yang memeluk erat-erat nafsu-nafsunya.
Sungai-sungai mengalir dari berbagai arah ke lautan yang lepas, tetapi sang lautan tak pernah mengeluh atau goncang karenanya dan selalu dengan tenang dan tegar menerima semua aliran-aliran air yang telah tercemar ini, bahkan dikembalikannya dalam bentuk uap yang bersih untuk dijadikan hujan oleh alam itu sendiri. Begitu pun pikiran seseorang yang telah tegar jiwa-raganya demi dedikasinya kepada Yang Maha Esa. la akan selalu kuat menghadapi semua cobaan dan kemauan-kemauan indra-indranya dalam kedamaian yang abadi.
71. Seseorang yang melupakan semua keinginannya dan bertindak lepas dari segala hasrat, tanpa rasa egoisme dan tanpa rasa memiliki apapun  ia pergi ke arah damai.
72. Inilah daerah suci (brahmishiti), oh Arjuna! Setelah mencapai daerah ini tak ada seorangpun yang kacau pikirannya. Barangsiapa, bahkan pada detik-detik akhir hayatnya mencapai daerah (kondisi) ini, maka ia akan pergi ke brahma-nirvana, di mana terdapat Berkah Sang Ilahi.
      Yang dimaksud dengan daerah ini sebenamya adalah kondisi atau status seseorang. Dalam kondisi atau status yang dimaksud ini seseorang pemuja dan Sang Brahman telah mencapai suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan lagi. Seseorang yang telah mencapai kondisi ini akan kehilangan semua ilusi duniawi dan Sang Atman akan bersinar di dalam dirinya, dan sampailah manusia ini ke arah sempurna dan kesucian. Bersatu dengan Yang Maha Esa (Sang Atman) berarti lepas sudah semua kemauan duniawi kita, dan kalau seseorang dapat bertahan dalam status semacam ini, atau bahkan baru saja mencapainya, dan langsung berakhir hidupnya di dunia ini, maka ia langsung akan menuju ke Yang Maha Esa, yang menjadi tujuan akhirnya, dan perlu kembali lagi ke dunia yang penuh dengan penderitaan ini.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, llmu Pengetahuan Yang Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, maka karya ini adalah bab kedua
yang disebut Sankya Yoga atau yoga mengenai ilmu pengetahuan.

Bab 03 - Jalan Aksi (atau Tindakan)
Page 1 of 5
Berkatalah Arjuna :
1.   Sekiranya Engkau berpikir, oh Kreshna bahwa kesadaran (atau pengetahuan) itu lebih baik daripada suatu tindakan (aksi), lalu mengapa pula Dikau menyarankan aku untuk berperang?
      Di sini terlihat bahwa Arjuna telah salah menafsirkan ajaran Sang Kreshna, pertanyaan Arjuna ini mungkin tidak berbeda dengan pikiran yang ada di benak kita sendiri karena setelah membaca dua bab permulaan ini biasanya timbul pikiran mengapa ajaran Sang Kreshna ini nampak berkontradiksi. Arjuna berpikir bahwa kesadaran yang dicapai seseorang akan Sang Brahman adalah lebih baik daripada suatu tindakan yang bersifat destruktif seperti peperangan. Arjuna lupa dan tidak sadar akan pesan-pesan Sang Kreshna akan dharma-bhakti setiap orang kepadaNya dan masyarakat pada umumnya.
2.  Dengan kata-kata yang saling bertentangan ini, Dikau mengacaukan pengertianku. Beritahukanlah kepadaku akan suatu jalan yang jelas, dengan apa aku dapat mencapai yang terbaik.
      Menjawab pertanyaan di atas ini Sang Kreshna pun lalu mengajar ajaranNya mengenai jalan dari aksi atau tindakan, sebagai berikut:
3.   Di dunia ini ada dua ajaran yang telah Kuajarkan semenjak masa yang amat silam, oh Arjuna! Yang pertama adalah ajaran tentang ilmu pengetahuan (gnana-yoga) yang disebut ajaran Sankhya, untuk mereka-mereka yang penuh dengan ketekunan untuk mempelajarinya; dan yang kedua adalah ajaran mengenai tindakan (aksi, perbuatan pekerjaan, atau karma-yoga), jalannya para yogi, yaitu yang hidupnya harus bekerja dan selalu penuh dengan aksi.

Skripsi-skripsi kuno Hindu mengajarkan tentang ajaran Sankhya dan ajaran Yoga. Sankhya adalah ilmu pengetahuan tentang Ilahi, sedangkan Yoga adalah ajaran tentang perbuatan, pekerjaan atau yang disebut aksi. Banyak orang membeda-bedakan kedua ajaran ini seperti halnya Arjuna, tetapi sebenarnya intisari atau tujuan dari keduanya adalah satu, yaitu Yang Maha Esa. Jadi sebenarnya sama saja, tergantung pemakainya saja.
       Ilmu pengetahuan (gnana) dan karma-yoga sebenarnya selaras, tidak ada konflik atau perbedaannya. Yang ada hanyalah masalah disiplin. Yang satu disiplinnya condong ke arah gnana dan yang satu lagi condong ke arah karma. Mereka yang menganut gnana disebut penganut Sankhya atau Sankhya Yogi dan mereka yang jalan di nishkama-karma (tindakan bukan untuk diri pribadi) disebut Karma-yogi. Gnana yoga disebut juga sanyasa yoga (yoga-disiplin), karena ilmu pengetahuan yang sejati sebenarnya mengarah ke sanyasa. Sri Shankar Acharya, seorang filsuf Hindu yang besar pernah berkata tentang Bhagavat Gita sebagai berikut: "Seorang penganut ilmu pengetahuan yang sejati (gnani) seharusnya juga adalah seorang sanyasi sekaligus," tetapi menjadi seorang sanyasi tidak berarti lalu kita semua harus menanggalkan kewajiban duniawi kita, kewajiban kita kepada masyarakat di sekeliling kita dan mengembara atau bertapa di hutan seorang diri tanpa acuh lagi kepada orang hidupnya sebagai seorang sanyasi dalam dirinya sendiri, dalam tindak-tanduknya sehari-hari. Yang dimaksud adalah kendalikan nafsu-nafsu indra kita, dan itu hanya bisa dilakukan sambil melakukan kewajiban kita sesuai dengan pekerjaan dan status kita dalam masyarakat. Seperti misalnya Raja Janaka, yang adalah seorang Maha-Raja yang amat kaya-raya dan berkuasa, tetapi dalam hidupnya sehari-hari ia tak pernah merasa memiliki apapun juga. la bertindak sebagai raja karena sudah merupakan kewajibannya pada Yang Maha Esa dan masyarakatnya. Raja Janaka di dalam epik Hindu dikenal sebagai seorang gnani yang mempraktekkan sanyasa, yaitu tidak keterikatan pada hal-hal yang bersifat duniawi, atau dengan kata lain menjauhi hal-hal yang bersifat duniawi.

Dengan kata lain, Gnana-yoga, Sanyasa-yoga dan Sankhya-yoga adalah sininimus, atau sama saja artinya. Menurut para guru agama Hindu, gnana tidak berarti ilmu pengetahuan yang didapatkan dari buku-buku. Seorang gnani bukanlah seorang kutu-buku, karena seseorang boleh saja membaca banyak buku bahkan mengutip dari buku-buku suci, tetapi belum tentu ia menghayati isi buku-buku ini dan berubah langsung menjadi seorang gnani. Gnana atau ilmu pengetahuan yang sejati didapatkan secara langsung, bukan dari buku-buku. Seorang gnani sejati adalah seorang pertapa, seorang yang dapat melihat kebenaran. la bukan seorang penyair atau pengarang yang berbicara atau menulis dari apa yang ia dengar atau lihat. la berbicara atau menulis karena ia merasakan dan melihat kebenaran itu secara langsung dan sendiri. la memiliki sakshatkara, yaitu persepsi atau intuisi langsung.
Tidak ada kebijaksanaan yang dapat kita ambil dari buku-buku begitu saja, tetapi harus melalui proses di dalam hidup kita ini. Gnana berarti menyadari diri kita sendiri. Hargailah ketenangan dan keheningan, karena kesadaran atau kebijaksanaan biasanya datang pada waktu-waktu yang hening. Makin banyak ketenangan dan keheningan di dalam diri kita, makin banyak timbul kesadaran dan kebijaksanaan.
4.  Seseorang tidak akan mendapatkan kebebasan dengan menelantarkan pekerjaannya, juga seseorang tidak akan mendapatkan kesempurnaan dengan hanya berpasrah diri.

Idealnya seorang yang berjalan di jalannya karma-yoga adalah bekerja sesuai dengan tugasnya tanpa terpengaruh oleh tugas itu secara duniawi. Dan kondisi semacam ini tidak dapat dicapai dengan tidak mengacuhkan atau menelantarkan pekerjaan itu sendiri. Aktiflah, sabda Bhagavat Gita, tetapi tanpa pamrih atau mengharapkan suatu imbalan sekecil apapun juga. Yang penting bukan tidak acuh pada pekerjaan, tetapi tidak acuh pada nafsu-nafsu indra kita yang serakah dan tidak terkendali. Bekerjalah, berproduktiflah dalam setiap hal, tetapi janganlah kita menciptakan kekacauan atau hal-hal yang buruk atau negatif. Ciptakanlah sesuatu yang indah, yang positif untuk dirimu dan semua di sekitarmu dan semua perbuatanmu selama tidak dilakukan dengan nafsu egois, dan selama tidak bermotifkan pamrih akan indah dan berguna untuk semuanya.
      Siddhi adalah kesempurnaan, dan kesempurnaan biasanya tercapai dari suatu ketenangan atau keheningan. Dan ciri-ciri khas seorang yang penuh dengan siddhi ini adalah:
1)      la memiliki disiplin yang kuat sekali dalam mengendalikan keinginan indra-indranya, bahkan sampai ke hal-hal yang terkecil sekali pun.
b. la telah belajar dan sadar bahwa "egonya harus dibunuh, apapun bentuk ego itu." Ada dua jalan ke arah siddhi ini: i. tidak mengikuti jalan pikiran yang duniawi, dan ii. tidak mementingkan hal-hal yang bersifat duniawi.
Agar pikiran kita selalu tenang dan tak tergoyahkan, maka perlu sekali untuk mengesampingkan semua unsur-unsur duniawi yang ada di sekitar kita. Seseorang yang tekun bermeditasi harus selalu mengatakan pada dirinya: uang, rumah, keluarga, istri, anak, harta milik, kekuasaan, rasa hormat dan lain sebagainya adalah milik Sang Maya, dan bersifat tidak abadi, hanya Sang Atman yang abadi. Dan pikiran semacam ini harus betul-betul dihayati dan tertanam di dalam benak kita sehari-hari.
2)      Seseorang yang stabil meditasinya tak akan terganggu oleh berbagai pikiran yang keluar masuk dalam kepalanya. Semua itu dipikirkannya secara santai dan tenang dan tidak secara serius. Meditasi yang benar akan menghasilkan seseorang yang selalu gembira, bercahaya roman-mukanya, penuh dengan enersi dan dinamik tindak tanduknya. Pikiran-pikiran yang negatif tak akan membantunya sama sekali, tetapi positif dan mengesampingkan kepentingan pribadi dan tak terpengaruh duniawi akan menghasilkan energi yang positif bagi seorang yang gemar bermeditasi.
Bagi seorang yang ingin mencapai ketenangan, maka dianjurkan untuk belajar bermeditasi pada seorang guru yang telah mencapai suatu kesempurnaan, karena dari sang guru ini akan terpancar keluar getaran yang amat positif bagi sang murid. Tanda-tanda seorang spiritual yang telah mencapai ketenangan jiwa ini adalah selain jiwanya betul-betul telah tenang tak tergoyahkan, juga ia tak akan pernah berpengaruh oleh semua kejadian-kejadian di dunia ini.
5.   Tak seoranq pun dapat lepas dari suatu aksi, walaupun hanya sejenak; karena setiap orang tanpa dikuasainya harus bertindak sesuai dengan guna-guna (sifat-sifat alami pembawaannya) yang lahir dari prakriti  (alam).
6.   Seseoranq yang nampak tenang, tidak bertindak apapun dengan organ-organ sensualnya (indra-indranya), tetapi di dalam benaknya yang terpikir justru obyek-obyek sensual, orang yang kacau dan dalam kegelapan ini disebut orang yang munafik.
      Aksi perbuatan atau karma adalah suatu hal yang tak terelakkan lagi bagi manusia yang hidup; manusia bahkan tak bisa hidup dengan baik kalau tidak bertindak atau bekerja. Hidup berarti bekerja, bertindak atau berbuat atau berpikir. Tidak-bekerja yang sejati adalah dengan tidak berpikir tentang hal-hal yang negatif mengendalikan indra-indra kita dan mematikan ego kita pribadi yang selalu menghubungkan setiap tindakan kita dengan "aku" dan "punyaku." Menyerahkan secara total semua bentuk ego, cinta, dan segala keterikatan kita kepadaNya adalah bekerja dalam tidak bekerja. Mengelak dari pekerjaan adalah suatu hal yang tidak mungkin. Mata kita tak dapat bekerja selain melihat, kuping tak dapat bekerja lain selain mendengar, dan badan kita tak dapat bekerja selain merasakan, dan otak kita tak dapat bekerja selain berpikir. Jadi mau tak mau seseorang harus bekerja atau bertindak sesuai dengan karmanya. Seandainya kita tidak mau bekerja dan ingin duduk diam saja sebagai patung, maka bukankah kita juga telah bertindak sebagai patung? Dengan mengelak dari tindakan/aksi, kita tak akan pergi ke jalan penerangan/kesempurnaan, tetapi kembali ke "alam" (prakriti) dan tindakan  alami.

Dalam "alam" ini ada tiga chakra atau tiga pusat energi. Dari ketiga pusat ini  datanglah pekerjaan-pekerjaan untuk badan kita secara otomatis tanpa kita sadari. Ketiga chakra ini dengan kata lain disebut sifat sattva, raja dan tama yang merupakan pusat-pusat dari aksi kita masing-masing. Dan sekiranya diluar badan kita, kita dapat mengendalikan semua unsur-unsur indra kita, tetapi dalam benak kita justru tak dapat lepas dari selera-selera duniawi ini, maka orang semacam ini disebut oleh Sang Kreshna sebagai manusia yang munafik. Contoh: seorang yang dianggap suci seperti pendeta, misalnya, yang sehari-hari nampak bertindak suci, tetapi sekali melihat gadis cantik langsung terangsang gairah seksualnya. Walaupun mungkin ia tidak bertindak lebih lanjut, tetapi itu sudah menunjukkan betapa tindak-tanduknya sudah tidak sesuai dengan hati dan pikirannya, dan inilah yang disebut munafik, karena tidak jujur pada diri dan masyarakat sekelilingnya, apalagi kepada Yang Maha Esa. Organ-organ sensual kita (indra-indra) adalah sebagian dari prakriti, begitu pun pikiran-pikiran kita; untuk menjalani hidup yang sejati ini kita harus dapat menaklukkan bukan saja indra-indra kita, tetapi juga pikiran kita, dan itu berarti menaklukkan prakriti itu sendiri secara tidak langsung.

Salah satu contoh yang baik untuk mengalahkan avykta ini adalah dengan tinggal bersama-sama dengan seorang suci. Juga sebaiknya setiap orang tidur dikamarnya masing-masing yang dilengkapi dengan gambar-gambar orang-orang suci, dewa-dewi, dan ayat-ayat suci. Mengoleksi buku-buku suci dan membakar wewangian untuk pujaan. Sebelum tidur bermeditasilah, dan memfokuskan diri pada hal-hal yang positif dan suci seperti mantra-mantra suci, atau pada suatu dewa tertentu, atau pada sang guru, dan lebih baik lagi kalau dapat memfokuskan diri pada Sang Atman, Sang Kreshna atau Sang Brahman secara langsung (Yang Maha Esa).
7.   Tetapi barangsiapa yang mengendalikan indra-indranya dengan pikirannya, oh Arjuna, dan tanpa keterikatan mempekerjakan organ-organnya demi karma-yoganya (aksi atau pekerjaannya), maka ia disebut berhasil.
      Dalam karma-yoga (pekerjaan kita), lakukanlah karma atau pekerjaan kita sesuai dengan kewajiban kita tetapi tanpa keterikatan secara duniawi. Kita bekerja sebenarnya karena demi dan untukNya dan tanpa pamrih, tanpa rasa memiliki, atau ego atau imbalan, dan sadar bahwa apapun yang dikerjakan adalah manifestasi dari Yang Satu itu, Yang Abadi selama-lamanya.
8.   Lakukan pekerjaan yang telah menjadi kewajibanmu, karena bekerja adalah lebih baik daripada tidak bekerja, bahkan ragamu saja tak mungkin stabil tanpa suatu aktifitas. Aktifitas adalah lebih baik daripada bermalas-malas tanpa suatu pekerjaan. kita duduk tanpa bekerja, maka raga atau badan kita bisa sakit karenanya.
9.   Pekerjaan merupakan suatu keterikatan di dunia ini, kecuali kalau dilakukan demi pengorbanan (demi Yang Maha Kuasa). Seyogyanyalah, oh Arjuna, dikau aktif untuk pengorbanan ini, bebas dari segala keterikatan.
       Setiap manusia di dunia ini telah terkurung oleh pekerjaan, dan setiap orang sibuk dan menjadi budak dari pekerjaan ini. Untuk penggantinya, maka dianjurkan agar kita tidak menjadi budak dari pekerjaan-pekerjaan ini, yaitu dengan bekerja demi Yang Maha Esa semata. Dengan kata lain secara mental kita berpikir bahwa semua pekerjaan atau kewajiban sebenarnya hanyalah untuk Dia semata. Dengan demikian kita bisa bekerja dan merencanakan sesuatu secara tanpa keterikatan duniawi. Dengan ini akan timbullah suatu rasa kebebasan dari hal-hal yang bersifat duniawi, karena semua hasil akhir juga diserahkan kepadaNya untuk diolah dan ditentukan akibat-akibatnya, atau hasil maupun buahnya.
      Di sloka diatas ada kata-kata, lakukan pekerjaanmu demi pengorbanan ini, yang dimaksud dengan pengorbanan ini adalah yagna. Menurut Shankara, ahli dan filsuf Hindu yang terkenal di masa silam, yagna dapat berarti Vishnu, Sang Maha pengasih. Yagna dengan demikian disimpulkan sebagai Yang Maha Esa dan juga pengorbanan untuk Yang Maha Esa. Kemudian mungkin timbul pertanyaan, pekerjaan apakah yang dapat disebut sejati? Semua pekerjaan yang bermotifkan dedikasi atau semata untuk Yang Maha Esa adalah pekerjaan yang sejati. Pengorbanan selalu berarti "mengorbankan diri sendiri untuk orang atau hal lain," dan berkorban berarti menemukan diri sendiri yang sejati; tuluskah diri ini, atau masih tertutup oleh hawa-hawa nafsu dan ego?
10. Pada masa yang lalu, Prajapati, Dewanya para makhluk-makhluk, menciptakan" manusia dengan suatu itikad yang penuh dengan pengorbanan dan berkatalah dewa ini: "Dengan pengorbanan ini engkau akan sejahtera. Dan pengorbanan ini adalah ibarat Kamakhuk (sapi kemakmuran yang beranak-pinak yang akan menghasilkan kemauan-kemauanmu).
Dewanya para makhluk yang dalam epik-epik Hindu kuno disebut Prajapati, yang menciptakan para makhluk di dunia ini; sewaktu menciptakan makhluk-makhluk ini ia mendasarkan pekerjaan ini pada suatu sifat pengorbanan yang tulus demi Yang Mata Esa karena Sang Dewa ini sadar bahwa semua tugas atau pekerjaan sebenarnya adalah kehendak dan demi Yang Maha Esa semata. la mengibaratkan pengorbanan ini sebagai Kamadhuk, yaitu seekor sapi yang dianggap suci dan terkenal sekali karena selalu beranak-pinak tanpa hentinya. Sang Dewa ini selalu menganjurkan manusia agar dalam segala tindak-tanduk manusia apakah itu suatu pekerjaan sehari-hari atau pekerjaan yang lain, agar selalu mendasarkan setiap tindakan manusia itu dengan rasa pengorbanan yang tulus. Jadi tidak bekerja demi diri semata tetapi demi suatu kehendak yang tersembunyi, demi suatu rahasia yang ada di belakang setiap tindakan kita, dan rahasia atau kehendak ini tidak lain dan tidak bukan adalah la semata. Setiap pengorbanan yang tulus merupakan hal yang vital untuk perkembangan hidup kita, karena akan membersihkan jiwa-raga kita, dan hal ini betul-betul merupakan suatu tindakan spiritual yang tidak disadari oleh pelakunya. Secara lambat laun pelaku yagna ini akan dijauhkan dari segala mara-bahaya dan hal-hal yang bersifat negatif, dan banyak hal-hal diluar dugaan dan pikirannya akan terjadi pada seseorang yang aktif dan tulus beryagna ini. Tetapi ingat ini bukan untuk digembar-gemborkan, tetapi harus dilakukan dengan tulus dan tanpa banyak cerita!
Yagna sebenarnya bukan untuk mendapatkan harta-benda duniawi, inilah kesalahan, sementara orang yang lebih aktif beryagna secara duniawi, tetapi lebih bersifat untuk melajukan seseorang ke arah Yang Maha Esa. Semakin banyak yagna kita yang spontan dan tulus sehari-hari semakin dekat kita kepadaNya dan menyatu denganNya. Dan pengorbanan ini bukan satu jenis saja, misalnya dalam gnana-yoga yang dikorbankan adalah ketidak-tahuan kita. Dalam karma-yoga yang dikorbankan adalah imbalan atau hasil kerja dan aktivitas kita. Dalam bhakti-yoga yang dikorbankan adalah keterikatan atas dua rasa atau sifat yang saling berlawanan seperti senang-susah, suka-duka, benci-cinta, panas-dingin, dsb.

Page 2 of 5
11. Dengan yagna, atau pengorbanan, berikanlah kepada para dewa, dan para dewa akan memberikannya kembali kepadamu yang kau pinta. Dengan saling memberikan kepada mereka ini dikau akan mencapai Kebaikan Yang Utama.
12. Dengan mendapatkan pengorbanan, para dewa akan memberkahimu dengan yang kau pinta. Dan barangsiapa yang menerima berkah dari para dewa tanpa berkorban kembali kepada mereka  adalah betul-betul seorang pencuri.
       Di salah satu kitab suci Hindu Kuno yang disebut Vishnu Purana, dapat kita baca suatu kisah di mana para dewa menurunkan hujan kepada manusia yang melakukan upacara korban kepada dewa-dewa ini. Hal yang sama masih kita lakukan juga pada waktu-waktu tertentu dewasa ini di mana ada kepercayaan agama Hindu. Para dewa ini sebenarnya diciptakan Yang Maha Esa untuk menjadi pelindung atau partner dari manusia, dan sebaliknya manusia yang memuja dewa-dewa ini dengan tujuan tertentu diharuskan untuk berkorban kepada dewa-dewa ini. Dengan ini akan tercapai kerja-sama yang baik antara dewa-dewa dan manusia demi langgengnya kehidupan dunia ini dengan segala kesibukannya. Para dewa tidak saja dapat memberikan harta-benda duniawi, tetapi juga dapat dipanggil melalui mantra-mantra tertentu baik untuk penyembuhan atau untuk meminta melawan perbuatan jahat. Tetapi ingat dari dewa untuk dewa, dari Yang Maha Esa untuk Yang Maha Esa, dan setiap tindakan untuk Yang Maha Esa berarti lebih dekat lagi denganNya. Juga terdapat makna lain dari pengorbanan ini yaitu, agar apa yang kita lakukan itu hasilnya dapat kita bagi juga untuk yang lainnya dan tidak hanya untuk diri sendiri. Di Manava Dharma Shastra tertulis: "Seseorang hanya memakan dosa, sekiranya la memasak untuk dirinya sendiri!"
Sekiranya sewaktu kita makan, alangkah baiknya kalau dimulai dulu dengan doa dan kita serahkan dulu yang kita makan kepadaNya dan kemudian kita bagi juga bagi sesama makhluk lain, misalnya dengan membuang sedikit nasi yang kita makan untuk semut-semut di halaman rumah, atau untuk anjing dan kucing piaraan di rumah, dan lebih dari itu kalau ada kelebihan dibagi kepada fakir-miskin atau orang lain yang membutuhkannya. Memberikan sesuatu yang berlebihan di rumah kita adalah pekerjaan sosial yang dianjurkan setiap agama, karena merupakan titipan dariNya juga untuk orang-orang lain yang membutuhkannya. Dan ingatlah setiap orang yang kikir selalu kehilangan sebagian dari harta-bendanya atau kebahagiannya karena hukum alam akan berlaku atas orang yang berlebih-lebihan miliknya baik itu dalam bentuk materi atau yang bersifat abstrak seperti pikiran atau rasa.
13. Mereka yang baik, adalah yang memakan sisa-sisa dari yang telah dikorbankannya, dan mereka-mereka ini akan lepas dari dosa-dosa. Tetapi yang tak beriman hanya memikirkan diri mereka sendiri yang mereka makan hanyalah dosa!
Dengan membagi makan atau kelebihan harta-benda kita kepada sesamanya yang membutuhkannya dan menyerahkan setiap tindakan dan posesi kita kepadaNya, maka lambat laun akan terjadi proses pembersihan dan pemurnian diri kita pribadi.
14. Dari makanan terbentuklah makhluk-makhluk, dari hujan terbentuklah makanan; hujan terbentuk dari yagna atau pengorbanan; dan pengorbanan lahir dari aksi (karma).
Di sini terlihat bahwa roda kosmik berputar secara sistimatis berdasarkan yagna atau pengorbanan. Dengan ini kita seharusnya sadar bahwa betapa besarnya sebenarnya nilai dari suatu yagna atau amal yang tulus, yang demi Ia semata-mata tanpa mengharapkan pahala atau pamrih.
15. Ketahuilah oleh dikau bahwa karma (aksi) timbul dari Sang Brahma, dan Sang Brahma datang dari Yang Maha Esa (Yang Tak Terbinasakan). Jadi Sang Brahma yang selalu ada selalu hadir pada setiap pengorbanan.
      Dunia diciptakan oleh Sang Purusha Tunggal (Sang Brahma) dengan penuh pengorbanan besar yaitu dirinya sendiri. Tangan-tangan dan kaki-kakinya tersebar ke seluruh dunia (di alam semesta). Berkat pengorbanan inilah dunia diciptakan dan berkat pengorbanan-pengorbanan dari berbagai dewa-dewa, para pahlawan-pahlawan, manusia-manusia suci sepanjang masa, maka dunia ini sampai sekarang masih bisa bertahan. Lihatlah di sekitar kita, kalau ada yang berbuat jahat maka pasti ada individu lain yang berbuat baik untuk menetralisir keadaan ini. Ini berarti sebenarnya tanpa kita sadari setiap pengorbanan yang mengorbankan dirinya sendiri sedang atau sudah berusaha menstabilkan alam dan unsur-unsur yang ada di alam ini sendiri.
16. Seseorang yang hidup di dunia ini tanpa mau menggerakkan roda-roda pengorbanan, adalah seorang yang penuh dengan dosa dan nafsu-nafsu duniawi. Orang semacam ini, oh Arjuna, hidup secara sia-sia.
       Seorang yang hidupnya adalah untuk diri-pribadinya sendiri, sebenarnya kehilangan nilai-nilai kehidupan yang berarti. Yang rugi sebenarnya adalah dirinya sendiri.
17. Tetapi seseorang yang bahagia di dalam Sang Atmannya sendiri, yang merasa cukup dengan Dirinya, dan selalu puas oleh Dirinya untuk orang semacam ini sebenarnya tidak ada pekerjaan yang harus diselesaikan.
       Seseorang yang telah menemukan kebahagian dan kedamaian di dalam Sang Atman (Jati Dirinya sendiri), yang bersemayam di dalam dirinya sendiri, tidak perlu menyelesaikan pekerjaannya, ujar Sang Kreshna penuh makna. Maksudnya di sini bukan lain orang semacam ini lalu bermalas-malasan tanpa kerja. Tetapi semua aktivitias baginya bahkan merupakan pekerjaan yang membahagiakan dan menimbulkan rasa damai baginya, karena ia berpikir sebagai alat ia dipakai oleh Yang Maha Kuasa, dan setiap pekerjaan atau problema bukanlah jadi beban lagi tetapi kewajiban yang ditunggu-tunggu olehnya. Secara mental ini berarti sama saja tidak ada pekerjaan untuknya semata. Bukankah Yang Maha Esa sendiri mengorbankan DiriNya sendiri untuk menjadi seorang manusia, yaitu Sang Kreshna agar dapat secara langsung dan pribadi mengajarkan Bhagavat Gita kepada kita semuanya. Tidak ada suatu bentuk pekerjaan yang kotor bagi yang telah menemukan Jati Dirinya, karena Ia selalu akan dituntun oleh Sang Atman sesuai dengan kehendakNya.
18. la tidak punya kepentingan pribadi di dunia ini baik ia melakukan sesuatu maupun ia tidak melakukan sesuatu. la tidak bersandar kepada siapapun untuk mencapai (atau mendapatkan) sesuatu dalam hidupnya.
       Orang yang telah mencapai taraf kejiwaan ini benar-benar adalah seorang manusia yang amat bebas hidupnya. Baik ia melakukan sesuatu maupun tidak, ia tidak pernah merasa rugi atau untung karena tindakan itu, benar-benar alat sifat dan statusnya, karena semua tindakan tidak disangkut-pautkan dengan pribadinya. la bebas dari segala beban duniawi dan tidak bersandar pada siapapun maupun pada suatu keadaan atau benda-benda dan sekelilingnya, ia hanya bersandar pada Yang Maha Esa semata. Baginya sehari-hari apa saja yang dimakan atau disandangnya walau hanya sedikit sudah terasa amat cukup. Hidupnya sudah menyatu dengan Yang Maha Kuasa, dan segala kejadian-kejadian duniawi seperti huru-hara, peperangan, musibah dan lain sebagainya, walaupun di perhatikannya secara manusiawi sekali sebenarya tidak lagi berpengaruh terhadapnya. Tanpa disadarinya maupun disadarinya lepas sudah kewajiban-kewajiban duniawi dari dirinya, yang ada hanya kewajibannya terhadap Yang Maha Kuasa. Bekerja atau tidak sama saja baginya, tetapi ia akan selalu bekerja terus tanpa henti dan tanpa pamrih, karena setelah mengenal Sang Atman, ia akan sadar bahwa semua adalah satu, dan apapun yang dilakukannya atau dikorbankannya adalah dari Dia, oleh Dia dan untuk Dia semata.
19. Seyogyanyalah dikau selalu mengerjakan kewajibanmu tanpa rasa keterikatan, karena dengan bekerja tanpa pamrih seseorang akan mencapai Parama Yang Tertinggi.
Bekerjalah selalu tanpa pamrih, inilah pesan inti dari Bhagavat Gita yang tidak bosan-bosannya diulang-ulang oleh Sang Kreshna bagi kita semua. Dengan dedikasi yang berkesinambungan, yang secara konstan dilakukan oleh seseorang terhadapNya, maka suatu saat pasti orang atau pemuja ini akan mencapai kebenaran Yang Sejati, Yang Tertinggi sifatnya. Janganlah ragu dan bimbang akan hasil pekerjaan itu, mereka yang bekerja secara murni untuk Yang Maha Kuasa tidak akan gentar dengan segala hasil yang diperolehnya. Orang semacam ini tidak akan memaksakan suatu pekerjaan tertentu, tetapi selalu akan bekerja sesuai dengan kehendakNya, dan bekerja tanpa keterikatan akan sukses atau tidaknya pekerjaan itu, bahkan tanpa pamrih. Dan bekerja tanpa pamrih ini akan melepaskan kita dari ikatan-ikatan duniawi ini, dan bebaslah kita sesungguh-sungguhnya bebas.
20. Janaka dan juga yang lain-lainnya benar-benar mencapai kesempurnaan dengan   bekerja. Dan dikau pun seharusnya bekerja dengan dasar kesejahteraan dunia ini.
Raja Janaka Dari Mithila, adalah seorang raja yang amat kaya-raya dan agung sifatnya. la juga adalah seorang karma-yogi yang ideal, karena ia memerintah kerajaannya demi Yang Maha Kuasa tanpa sedikit pun ambisi pribadi atau merasa semua itu miliknya pribadi. la berhasil menguasai egonya dan pernah berkata, "Seandainya kerajaan Mithila ini terbakar tidak ada sesuatu pun punyaku yang hilang." Raja Janaka berkuasa dikerajaannya sampai akhir hayatnya karena ia merasa bekerja demi yang lainnya dan menjadi contoh atau model untuk raja-raja yang lainya agar bekerja demi Yang Maha Kuasa semata. Suatu saat kemudian Sang Raja ini mencapai kesempurnaannya dengan bekerja terus-menurus, tanpa pamrih demi Yang Maha Kuasa. Boethius seorang filsuf Barat pernah berkata: "Seseorang tak akan pernah pergi ke sorga kalau hanya ia sendiri yang ingin ke sana."

Page 3 of 5
21. Apapun yang dilakukan oleh seorang pemimpin, maka masyarakat akan mengikutinya. Masyarakat akan meniru sama kaidah-kaidah yang dilaksanakan oleh pimpinan itu.
      Masyarakat selalu cenderung untuk meniru tingkah-laku dan kehidupan seorang pemimpin bangsa.  Seandainya seorang pemimpin atau pemuka masyarakat bertindak religius, bijaksana, rendah-hati, hidup sederhana dan tidak serakah pada kekuasaannya, maka masyarakat akan menghormatinya dan bertindak sama dalam kehidupan mereka sehari-hari. Tetapi seandainya seorang pemimpin mulai bertindak serakah, menyalah-gunakan kekuasaannya, memerintah dengan angkara-murka, dan korupsi, maka jajaran menteri-menteri dan para bawahan-bawahan menteri sampai ke pamong-praja dan masyarakat akhirnya, akan bertindak sama. Karena itulah pola atau kaidah-kaidah yang telah diterapkan oleh sang pemimpin, yang lambat laun menjalar ke semuanya dan terasa biasa oleh para pelaku-pelakunya.
22. Tidak ada sesuatu apapun di ketiga loka ini yang Kukerjakan, oh Arjuna, atau pun ingin mencapai sesuatu yang belum tercapai, tetapi Aku selalu aktif bekerja.
Yang Maha Kuasa sebenarnya tidak perlu bekerja untuk menunjang alam semesta ini beserta seluruh isinya, tetapi la memberikan contoh yang baik dengan menitis menjadi Sang Kreshna dan mengajarkan Bhagavat Gita kepada manusia agar jalan lurus ke arahNya.
23. Karena, kalau Aku tidak aktif, maka mereka-mereka yang aktif dan penuh pengorbanan tidak akan mencontoh Diriku, oh Arjuna!
Sekali lagi Yang Maha Kuasa memberikan keteladanan yang amat agung, agar mereka-mereka yang bekerja demi dan untukNya semata makin aktif saja untuk bekerja demi sesamanya dan demi Yang Maha Kuasa. Di sini terlihat bahwa Bhagavat Gita tidak menganjurkan siapa saja untuk berdiam diri tanpa berbuat sesuatu karena merasa semua sudah diatur Yang Maha Kuasa. Tetapi sebaliknya setiap insan dianjurkan untuk selalu bekerja, tetapi harus tanpa pamrih.
24. Seandainya Aku berhenti bekerja, maka dunia ini akan runtuh, dan Aku jadi penyebab kekacauan, dan semua manusia-manusia ini akan binasa.
25. Ibarat seorang bodoh yang bekerja demi hasilnya, oh Arjuna, maka seyogyanyalah seorang yang bijaksana juga bekerja, tetapi tanpa pamrih, dan dengan tujuan untuk kelangsungan hidup di dunia ini.
       Kontradiksi antara yang bodoh (jurang pengetahuannya) dan yang bijaksana jelas sekali di sloka atas ini. Yang pertama bekerja demi suatu motif dan untuk kepentingan dirinya sendiri, sedangkan yang bijaksana bekerja tanpa pamrih dan untuk sesamanya. Pekerjaannya sama, motif dan tujuannya lain.
26. Janganlah seorang vidvan (bijaksana) mencegah pikiran mereka-mereka yang terikat kepada pekerjaan mereka. Tetapi bertindaklah berdasarkan ilmu pengetahuan ini sesuai dengan kehendakKu dengan begitu memberikan inspirasi (atau mengajarkan) mereka untuk bertindak yang betul.
      Jangan mengusik atau mengkritik mereka-mereka yang terikat pada kehidupan dan pekerjaan mereka, karena kesadaran yang sejati harus datang dari hati-nurani mereka sendiri. Kewajiban seorang yang bijaksana adalah memberikan contoh-contoh kepada orang-orang semacam ini, dengan begitu menimbulkan kesadaran atau inspirasi kepada mereka, bahwa bekerja atau hidup ini sebenarnya untuk Yang Maha Esa semata dan bukan untuk kepentingan diri pribadi sendiri. Dengan bertindak begitu seorang yang bijaksana akan bertindak sesuai dengan kemauan atau kehendak Yang Maha Kuasa yang tak pernah memaksakan kehendak atau keinginanNya untuk diikuti seseorang. Setiap orang bebas untuk memuja atau tidak memujaNya, untuk berperi-laku baik atau buruk.
      Jangan sekali-kali kita meremehkan kepercayaan orang-orang lain, apapun kepercayaan dan keyakinan mereka, bahkan seharusnya kita harus menghormatinya dan kemudian membantunya untuk lebih mengenal Yang Maha Esa dan bertugas demi Yang Maha Esa. Setiap simbol yang dipuja atau tindakan atau kepercayaan seseorang sebenarnya merupakan suatu proses atau tindakan atau anak-tangga dari setiap individu untuk ke Yang Maha Esa juga, tetapi karena "kebodohan" seseorang maka ia berjalan atas konsep atau pengertian yang salah, pada hal yang ditujunya adalah kekuatan Yang Abadi juga. Dan setiap individu ini suatu saat secara perlahan tetapi pasti akan menuju ke Yang Maha Esa juga. Jadi sebaiknya seorang yang bijaksana memperbaiki dan membantu mengarahkan orang-orang ini ke jalan yang benar, dan tidak sekali-kali memaksa atau menertawakan kepercayaan orang lain.
27.  Sebenarnya semua tindakan (aktifitas) dilakukan berdasarkan sifat-sifat alam (ketiga guna), tetapi seseorang yang penuh dengan rasa egois (ahankara) akan berpikir: Akulah yang melakukannya."
28. Tetapi seseorang, oh Arjuna, yang sadar benar akan perbedaan antara Sang Jiwa dan sifat-sifat alam serta cara kerja sifat-sifat alam ini, tak akan terikat pada pekerjaannya, karena ia sadar bahwa yang bekerja sebenarnya adalah sifat-sifat alam ini.
Seseorang yang bijaksana sadar bahwa Sang Atman (yang bersemayam di dalam diri kita), tak akan tercemar oleh pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan orang tersebut. Seperti juga halnya Sang Atman ini tidak dapat dibakar, dibunuh atau dihancurkan. Orang bijaksana ini pun sadar bahwa yang bertindak dengan aktif sebenarnya bukan Sang Atman tetapi adalah ketiga sifat alam yang disebut guna, dari Sang Prakriti. Sedangkan seseorang yang tidak bijaksana atau yang kurang pengetahuannya merasa semua tindakan yang dilakukannya berasal dari dirinya semata. Secara sadar seorang yang bijaksana mengorbankan segala tindakannya kepada Yang Maha Esa, dan secara otomatis ia akan selalu bekerja melawan segala dosa dan cobaan agar dirinya makin bersih dan dapat lepas dari segala kegelapan, penderitaan dan kekotoran duniawi ini. Jalan ini menuju ke jalan "tanpa-pamrih." Karena seseorang yang bijaksana sadar bahwa yang bekerja sebenarnya bukan Sang Atman tetapi sifat-sifat prakriti yang menimbulkan berbagai ragam aktivitas atau tindakan. Sifat berinteraksi dengan sifat, dan benda berinteraksi dengan benda, Sang Atman sendiri selalu teguh sebagai saksi.
29. Mereka-mereka yang di dalam kegelapan akibat sifat-sifat alam ini terikat pada pekerjaan-pekerjaan yang ditimbulkan oleh sifat-sifat ini. Seorang yang sadar semuanya itu tak akan menggoyahkan pikiran seseorang lain yang hanya mengerti sebagian kecil.
       Seseorang yang bijaksana akan membantu tanpa pamrih kepercayaan atau tindakan positif orang lain yang kurang mengerti ini, dan tidak sekali-kali menimbulkan kekacauan dalam hati orang yang ditolongnya ini. Dengan memberikan contoh-contoh yang baik seseorang yang bijaksana akan membantu orang yang lain sesuai pengabdiannya kepada Yang Maha Esa.
30. Serahkan semua tindakan-tindakanmu kepadaKu, dengan pikiran-pikiranmu bersandar pada Yang Maha Esa, lepas dari segala kemauan dan egoisme, sadarlah dari penyakit (mental) mu, berperanglah dikau, oh Arjuna!
       Dengan menyerahkan semua imbalan atau pamrih dari segala tindakan-tindakan kita kepada Yang Maha Esa, maka seyogyanyalah seseorang berdoa kepadaNya agar Ia memberkahi alam semesta beserta segala isinya ini dengan segala karuniaNya. Jangan mencari kebahagian pribadi, tetapi berkorbanlah selalu demi sesamamu dan semuanya, demi Yang Maha Esa pada hakikatnya. Serahkanlah semua milikmu kepadaNya, serahkan semua itu dengan jiwa yang penuh dedikasi dan suatu waktu kelak kita pun dapat merasakan datangnya karunia Ilahi Yang Sejati (Brahmananda). Serahkan semua yang menjadi milikmu, apapun bentuknya, baik secara mental maupun harta duniawi dan sadarlah bahwa Ia juga yang hadir di setiap benda dan makhluk di alam semesta ini, dan Yang Maha Esa pun akan turun kepada diri kita dan lengkaplah lalu diri kita ini. Dalam setiap tindakan selalulah berdoa, "Terjadilah KehendakMu, Yang Maha Kuasa."

Page 4 of 5
31. Barangsiapa menjalankan ajaran-ajaranKu ini penuh dengan kepercayaan dan lepas dari mencari-cari kesalahan (ajaran ini) maka mereka juga akan lepas dari keterikatan kerja.
32. Tetapi mereka yang mencari-cari kesalahan dalam ajaranKu ini dan tidak bertindak seharusnya; ketahuilah mereka-mereka ini buta tentang kebijaksanaan, sesat dan tak berpikiran sehat.
       Bhagavat Gita mengharuskan kita untuk menjalankan ajaran-ajaran Sang Kreshna ini dengan konsekuen dan penuh kesadaran, bukan dengan mencari-cari kesalahan dalam ajaran ini. Bukan juga dengan menyalah-gunakan ajaran ini untuk maksud-maksud duniawi tertentu. Mengetahui saja ajaran-ajaran ini tidak cukup, tetapi harus dihayati, dipraktekkan dan dipelajari secara tekun dan berulang-ulang karena selalu merupakan sumber inspirasi yang tak ada habis-habisnya bagi diri kita, dan kemudian selalu diamalkan untuk sesamanya. Tidak berjalan sesuai dengan ajaran-ajaran ini lambat laun malahan akan menyesatkan seseorang yang menganut agama Hindu atau ajaran Sang Kreshna ini.
33. Seorang yang penuh dengan ilmu pun bertindak sesuai dengan sifat-prakritinya. Setiap makhluk mengikuti sifat-sifatnya masing-masing. Menentang sifat-sifat ini tidak akan berarti apa-apa!
34. Keterikatan dan rasa-dualistik yang bertentangan pada obyek-obyek selalu hadir di setiap hal. Janganlah seseorang terbius oleh kedua hal ini. Karena kedua-duanya adalah musuh dan hambatan-hambatan dalam perjalanannya,
Adalah kenyataan bahwa kita dilahirkan dengan sifat-sifat tertentu yang dominan. Tetapi sifat-sifat ini menjadi amat kuat kalau selalu dikaitkan dengan keterikatan duniawi dan rasa dualistik kita, sehingga sering misalnya kita menyukai hal-hal yang terlarang dan tidak menyukai kewajiban-kewajiban tertentu karena terasa tidak menyenangkan untuk dikerjakan. Semua ini dapat di atasi secara lambat laun kalau mau kita mendisiplinkan dan belajar secara bersama dengan orang-orang lain tentang hal-hal yang spiritual dan dengan penuh dedikasi bertindak dan melihat kedalam diri kita sendiri, Prakriti itu sendiri bukanlah sesuatu kekuatan yang dinamik. Memang betul dalam kehidupan ini prakriti memainkan peranan yang amat penting dan kuat pengaruhnya pada kita semua, tetapi selama kita mau menceburkan diri di dalamnya dan mau terseret oleh arusnya, maka selama itu juga kita akan terbenam di dalam prakriti ini. Tetapi sekali kita menentangnya maka akan timbul kesadaran untuk mengatasinya. Mengatasinya tidak dengan berperang dengan prakriti ini, karena sukar untuk mengalahkannya, tetapi dengan merubah diri kita yang terbenam ini menjadi ibarat sebuah perahu yang melayarinya. Jadi masih dengan prakriti juga karena memang tidak bisa lepas darinya selama kita masih hidup, tetapi sudah tidak terseret lagi tetapi malahan berlayar dengannya sampai ketujuan. Sekali sudah menyeberang maka selamatlah kita, beginilah orang-orang Hindu mengibaratkan prakriti, sebagai sebuah sungai yang amat kuat arusnya, yang tak perlu ditentang tetapi sebaliknya dilayari saja untuk sampai ke tujuan kita, yaitu Yang Maha Esa.
Keterikatan dan rasa dualistik adalah musuh-musuh kita yang harus dikalahkan. Caranya adalah dengan karma-yoga, kuasailah rasa dualistik seperti suka dan tak suka. Organ-organ sensual atau indra-indra kita dapat dikalahkan oleh tekad yang kuat. Tetapi jangan menelantarkan atau menjadikan indra-indra kita ini lapar. Tanpa terganggu oleh rasa dualistik ini, yang hadir dalam berbagai bentuk apapun juga, lakukanlah kewajiban-kewajibanmu. Kita bukanlah boneka-boneka ditangan sang prakriti. Prakriti hanya bisa menghambat kebebasan kita tetapi tidak mungkin bisa merampas kebebasan kita kecuali itu mau kita sendiri. Setiap orang memang hanya bisa mengikuti alur-alur sifat-sifatnya belaka, tetapi seyogyanyalah seseorang meneliti dirinya sendiri, melihat sifat-sifat apa saja yang dimilikinya, karena setiap manusia sebenarnya bersifat balans, ada segi negatif dan positifnya. Kembangkanlah yang positif dan kurangilah yang negatif. Sia-sia saja melawan semua itu, sebaiknya menyesuaikan diri dulu, kemudian merubahnya secara perlahan tetapi pasti.
35. Lebih baik mengerjakan kewajiban atau pekerjaan (svadbarma) seseorang, walaupun mengerjakannya kurang sempurna, daripada melakukan kewajiban orang lain, walaupun pelaksanaannya sempurna. Lebih baik mati dalam mengerjakan kewajiban seseorang. Mengerjakan kewajiban orang lain itu penuh dengan mara-bahaya.
Adalah lebih baik kalau kita mengerjakan pekerjaan yang sudah jadi kewajiban kita walaupun dalam mengerjakannya mungkin saja tidak sempurna, daripada melakukan kewajiban orang lain, walaupun dalam pelaksanaannya mungkin sangat sempurna. Mati dalam melakukan kewajiban kita adalah sesuatu hal yang agung dan sebaliknya dharma yang seharusnya menjadi hak orang lain malahan akan menimbulkan bahaya spiritual bagi kita, seandainya kita memaksakannya juga. Jadi seorang yang bersifat brahmana tidak perlu melakukan pekerjaan seorang waishya, dan begitupun sebaliknya.
Tidak ada masalah bagi Yang Maha Esa mengenai tinggi-rendahnya nilai suatu pekerjaan atau kewajiban, semuanya bagi Yang Maha Esa sama saja sifatnya. Tetapi mengerjakan kewajiban kita masing-masing secara baik dan penuh dedikasi nilainya lebih baik untuk kepuasan batin kita sendiri, dan secara spiritual berkatanya ditentukan olehNya sesuai dengan kehendakNya juga. Seorang tukang sepatu membuat sepatu yang baik, seorang pendeta mengarahkan umatnya dengan penuh dedikasi dan iman, dan seorang raja memerintah dengan bijaksana. Jika semua orang bekerja dengan baik sesuai dengan kewajiban dan sifatnya yang asli tanpa menyerobot usaha atau pekerjaan orang lain dengan alasan apapun juga, maka semuanya akan stabil dan harmonis dalam kehidupan ini.
Berkatalah Arjuna:
36. Oleh sebab apakah seseorang tertarik untuk berbuat dosa padahal itu bertentangan dengan pikirannya, oh Kreshna, seakan-akan dihela oleh daya yang amat kuat?
Arjuna bertanya seperti juga yang sering kita tanyakan pada diri-sendiri maupun kepada guru-guru kita, mengapa seseorang berbuat dosa padahal di dalam hatinya mungkin sekali ia tidak ingin melakukan dosa tersebut? Apa yang ada dibalik semua rahasia ini? Seakan-akan ada sesuatu kekuatan yang dahsyat yang menarik manusia untuk terjerumus ke dalam dosa. Apakah manusianya yang lemah, ataukah memang ada semacam musuh manusia yang tidak terlihat oleh mata, dan apakah musuh ini dapat dihilangkan atau dikalahkan?
      Dalam jawabannya di sloka-sloka mendatang, Sang Kreshna menunjuk bahwa manusia ini sebenarnya bukan mesin-otomatis. Dharma atau kewajiban seseorang telah digariskan berdasarkan kehidupan atau karmanya semasa lampau. Seseorang bisa saja lahir untuk menjadi seorang guru, polisi, pedagang, tukang-kayu, pendeta, pegawai negeri, atau mengabdi kepada fakir-miskin, dan sebagainya. Kewajiban itu sudah digariskan, kita harus menemukannya sendiri sesuai dengan bisikan hati nurani kita. Sedangkan kesucian atau perbuatan dosa seseorang, kedua hal ini tidak digariskan, jadi terserah kepada orang atau individu yang bersangkutan untuk memilihnya sendiri, mau berbuat dosa atau hal yang baik-baik saja. Memang karma dan kehidupan sebelumnya akan cenderung untuk menentukan jalan yang kita pilih, tetapi Yang Maha Kuasa pun memberikan kita kekuatan batin, tekad, dan ratio, dan semua ini dapat menentukan jalan apa yang harus kita ambil. Kalau seseorang maunya tersandung terus, lama kelamaan ia harus jatuh juga, tetapi kalau tekadnya kuat untuk berjalan lurus, ia tak akan pernah jatuh, atau kalau jatuh ia akan lebih berhati-hati selanjutnya.
       Arjuna bertanya, "mengapa seseorang berbuat dosa padahal belum tentu ia mau     melakukannya," Sebenarnya hal tersebut tidak benar, setiap orang yang berbuat dosa sebenarnya di dalam hatinya sudah kalah lebih dahulu dengan cobaan-cobaan yang dihadapinya, baru kemudian ia terjerumus ke dosa itu. Seseorang yang dasarnya memang terikat-erat pada benda-benda dan nafsu-nafsu duniawi ini akan mudah jatuh setiap ada cobaan. Sebaliknya jika ia penuh tekad untuk bertindak suci dan jauh dari keterikatan duniawi, maka ia akan menang. Dengan kata lain semuanya itu, sebenarnya kembali ke disiplin manusia itu sendiri.
      Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
37. Keinginan (kama), kemarahan (krodha), yang lahir dari rajoguna (berbagai ragam nafsu dan keinginan), semua ini serba penuh dengan keserakahan dan penuh dengan pencemaran. Inilah musuh kita di bumi ini.
      Ada dua musuh manusia yang utama di dunia ini, yaitu: kama atau nafsu dan keinginan, dan yang kedua kemarahan (krodha). Kedua-duanya ini adalah dua wajah dari sang rajoguna, dan kedua-duanya adalah musuh yang mematikan bagi manusia. Berhati-hatilah terhadap mereka!
      Kita sebaliknya tidak memusatkan pikiran kita pada hal-hal yang duniawi yang kelihatannya menyenangkan. Sekiranya pikiran selalu terpusat ke arah suatu obyek yang menyenangkan ini, maka akan timbul suatu pengalaman atau kejadian yang akan membangkitkan nafsu atau keinginan kita, kemudian timbul hasrat untuk mendapatkan obyek tersebut dan, menguasainya secara total, dan jatuhlah kita ke dalam cengkraman sang Maya. Dan seandainya sebaliknya keinginan tersebut tidak tercapai atau kita tidak puas akan hasil yang tercapai, maka akan timbul rasa amarah, dan rasa amarah ini kalau tidak terkendali dapat menghancurkan segala-galanya. Cara yang terbaik untuk keluar dari cobaan kama ini adalah dengan mengembangkan tekad kita ke jalan yang penuh disiplin dan dedikasi kepada Yang Maha Esa. Bekerja aktif sesuai kewajiban kita kepada Yang Maha Esa akan banyak menolong kita membentuk tekad itu sendiri, dan tekad ini akan tumbuh terus dengan tegar di dalam diri kita.
38.  Seperti bara-api yang terbungkus oleh asap, seperti cermin yang terlapis oleh debu dan ibarat embrio (janin bayi) yang terbungkus oleh kulit perut--- begitu juga ini terbungkus oleh itu.
       Asap selalu melingkup bara-api, debu selalu menutupi permukaan kaca atau cermin, dan sang jabang bayi selalu berbungkus oleh kulit perut ibunya semasa ia masih belum dilahirkan, begitu pun nafsu ini membungkus Sang Atman kita sehingga tak nampak cahayaNya dari luar.
39.  Kebijaksanaan, oh Arjuna, juga terbungkus oleh api nafsu yang tak terpuaskan ini yang jadi musuh tetap orang-orang yang bijaksana. Nafsu atau kama yang lapar dapat menjadi musuh dari mereka-mereka yang bijaksana, karena sering sekali nafsu ini dapat menutupi sinar Sang Atman yang bersemayam di hati seseorang yang tidak kuat imannya. Salah satu ucapan Sang Manu (manusia pertama) yang terkenal adalah: "Nafsu tidak pernah puas oleh obyek-obyek sensual yang didapatkannya.  Semakin banyak yang dicapainya semakin besar ia tumbuh bagaikan bara-api yang tersiram minyak."
40. Indra-indra, pikiran dan intelegensia (buddhi) adalah tempat-tempat nafsu itu bersemayam. Mencegah kebijaksanaan dengan ini, nafsu menggelapkan sang jiwa yang ada di dalam tubuh.
       Apa saja yang dilakukan oleh kama? Kama atau nafsu ini mencegat selalu di pintu-gerbang indra-indra kita, kemudian kama ini meruntuhkan benteng pikiran kita dan kemudian masuk ke daerah buddhi (intelegensia) dan menghancurkan kekuatan batin dan tekad kita. Seorang yang bijaksana akan selalu menjaga baik-baik  gerbang indranya dari segala cobaan. Setiap kenikmatan indra kita baik itu dari mulut, mata, sex dan sebagainya walaupun sedikit sebaiknya menjadi lampu-merah dan peringatan akan bahaya, atau sang musuh yang akan menyelip masuk di saat-saat kita lengah. Begitu kama menguasai segala indra-indra kita, pikiran kita dan ratio kita, maka seseorang akan menuju ke arah kehancuran dirinya. Itulah nafsu yang telah menghancurkan banyak pahlawan-pahlawan besar, orang-orang bijaksana yang tercatat dalam sejarah baik di Asia, Eropa maupun di mana saja di dunia ini.

Page 5 of 5
41.  Seyogyanyalah, oh Arjuna, kendalikan indra-indramu dan bantailah nafsu berdosa ini yang menghancurkan gnana dan vignana,
       Gnana dan vignana telah dijelaskan artinya dalam bab-bab yang lalu dengan berbagai arti. Disini yang penting adalah bahwa jalan pikiran kita harus bersih dan murni dalam setiap tindakan yang kita ambil. Jalan pikiran atau buddhi kita harus dikendalikan dengan baik,atau sang nafsu keinginan akan segera menghancurkan pengetahuan dan kebijaksanaan (gnana dan vignana) yang telah kita bina sedikit demi sedikit.
42. Indra-indra kita itu besar kadarnya. Tetapi pikiran itu lebih besar kadarnya dibandingkan dengan indra-indra itu. Lebih besar lagi kadar buddhi. Tetapi yang lebih besar lagi kadarnya adalah Ia (Sang Atman, Sang Inti Jiwa kita).
Jadi bagaimana jalan keluar dari dosa? Serahkan saja yang lebih ringan kadarnya kepada yang paling berat. Lepaskan semua itu dan berpalinglah kepada yang paling Inti, dan jalanlah seperti yang selalu dianjurkan Bhagavat Gita secara berulang-ulang yaitu: Jangan sekali-kali jatuh pada keinginan atau rasa dualisme yang saling bertentangan seperti suka-duka, senang-susah, dsb. Dan bertindaklah selalu dalam setiap hal karena rasa kewajibanmu kepada Yang Maha Esa semata. Bergeraklah dalam kesadaran mulai dari tangga yang pertama yaitu indra-indra kita dulu, lalu ke pikiran kita, dan lambat laun dari buddhi ke Sang Atman dan suatu saat kelak ke Yang Maha Esa. Sekali kita tak terikat lagi pada nafsu-nafsu duniawi dan telah bersih dari segala kekotoran duniawi, dan sekali kita berubah jernih maka akan terjadi peleburan diri kita ke Sang Atman dan tahap selanjutnya diantar untuk menyatu dengan Yang Maha Pencipta.
43.  Dengan mengetahui Dirinya (Sang Atman) lebih agung dari buddhi, maka kuasailah dirimu (strata yang lebih rendah) dengan Dirimu (Sang Atman, yang lebih tinggi). dan bunuhlah musuhmu yang bernama nafsu ini, musuh yang sukar untuk dikalahkan.
Musuh dalam bentuk nafsu ini tidak harus dikalahkan saja, tetapi juga harus dihancurkan. Kalau tidak ia akan kembali sewaktu ia kuat lagi untuk menyerang kita. Maka jangan sekali-kali lengah begitu anda mengira bahwa anda sudah kuat, karena musuh yang satu ini sukar untuk dikalahkan. Pasrahkan dan serahkan dirimu kepadaNya dan bertindaklah selalu tanpa pamrih; tanpa suatu usaha atau tindakan yang positif maka hidup ini akan gagal. Yang harus diperhatikan dari sabda-sabda Sang Kreshna ini adalah bahwa sang musuh ini selalu hadir sebagai musuh dalam selimut dan akan menyerang kita di saat kita lengah atau merasa kuat. Bersatulah dengan Sang Atman, dan bertekadlah untuk membantai musuh nomor wahid ini, dan Ia akan menuntunmu ke jalan yang benar.
       Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan yang Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, maka karya ini adalah bab ketiga yang disebut Karma yoga atau Ilmu Pengetahuan tentang tindakan (atau pekerjaan).